Monday, December 12, 2016

PERKEMBANGAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN DI KOTA BOGOR



Kota bukanlah lingkungan buatan manusia yang dibangun dalam waktu singkat tetapi merupakan lingkungan yang dibentuk dalam waktu yang relatif panjang. Kondisi wilayah perkotaan sekarang ini merupakan akumulasi dan setiap tahap perkembangan yang terjadi sebelumnya dan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Dapat pula dikatakan bahwa kota merupakan sebuah artefak urban yang kolektif dan pada proses pembentukannya mengakar dalam budaya masyarakat setempat (Rapoport, 1977). 

Kostof (1991) menjelaskan kota sebagai leburan dari bangunan dan penduduk. Bentuk kota pada awalnya adalah netral tetapi kemudian berubah sampai dipengaruhi dengan budaya tertentu. Produk morfologi kota merupakan hasil evolusi sejarah kehidupan yang ditentukan oleh dua keputusan. Yang pertama oleh perencana dan yang kedua oleh proses perkembangan kota (urban process). Keputusan perencana dapat dilakukan melalui suatu kelembagaan baik secara otoriter maupun demokrasi. Sedang perkembangan kota ditentukan oleh proses keputusan semua aktor pembangunan kota yang beragam dan terus berlangsung sebagai suatu “pasage of time and daily life”, yang dapat berada di luar skenario keputusan atau perencanaan formal (Kostof, dalam Soetomo, 2009). 
Kota adalah sebuah tempat di mana orang-orang di dalamnya mengidentifikasi diri mereka dengan lokasinya. Sebuah kota merupakan kumpulan tempat yang mempunyai berbagai penanda dan kenangan masingmasing. Saat manusia belajar, dia akan mencerna penanda dari lingkungannya dan mengingatnya terus menerus. Hal ini dapat menjelaskan mengapa manusia dapat mempunyai keterikatan yang erat dengan daerah asalnya, karena telah belajar untuk mengingat dalam rentang waktu yang cukup lama. Kota menjadi kumpulan memori karena merupakan wadah dari fungsi hidup manusia yang merekam siklus dan daur hidup manusia (Carmona, 2003). 
Kota-kota di Jawa berkembang dengan sangat pesat terutama setelah awal abad ke 20. Hal ini disebabkan karena perkembangan penduduk yang sangat cepat akibat besarnya urbanisasi yang terjadi pada kota-kota di Jawa dari tahun ke tahun. Pusat kota pada kota-kota di Jawa terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Keadaan sosial, budaya, politik, serta sejarah masa lalu sebuah kota sangat berpengaruh pada kawasan-kawasan di perkotaan.  Setelah tahun 1980-an terjadi gejala pemekaran yang tidak terkontrol pada kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Malang, dan lain-lain, yang disinyalir oleh McGee (1991) sebagai akibat dari terjadinya proses pergeseran fungsi pusat kota dari pusat pemerintahan menjadi pusat kegiatan jasa dan keuangan. Secara fisik restrukturisasi ini ditandai dengan perubahan penggunaan lahan secara besar-besaran, karena munculnya lokasi-lokasi industri di tepi kota yang kemudian disusul dengan munculnya daerah perumahan baru. Terjadilah istilah mega urban pada kota-kota seperti Jakarta (Jabotabek), Surabaya (Gerbangkertasusila), dan Semarang (Kedungsepur). 
Susunan kota-kota tradisional dipengaruhi oleh beberapa faktor yang membatasi pola susunannya, yaitu keamanan dan persatuan, keterbatasan bahan dan teknologi, keterbatasan mobilitas, struktur sosial yang kaku, serta perkembangan yang agak lambat. Faktor-faktor ini sangat menentukan penataan kota-kota lama. Susunan kota yang dianggap modern tidak lagi dipengaruhi oleh batasan tertentu seperti pada kota tradisional. Hal itu disebabkan oleh ketidakterbatasan komunikasi dan pengaruh pada masyarakat secara individual mengenai ide-ide baru, ketidakterbatasan teknologi, serta ketidakterbatasan mobilitas yang mengarah pada perluasan dan kepadatan kawasan kota (Zahnd, 1999).
Banyak kota-kota di Indonesia yang telah memiliki identitas kota yang kuat sebagai akibat dari proses perkembangan kota tersebut. Kota-kota besar di Indonesia secara umum mengalami alur sejarah perkembangan yang hampir sama. Berawal dari kota tradisional (kerajaan), berkembang pada masa kolonial, dan setelah masa kemerdekaan menghadapi era modernisasi dan globalisasi. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah perkembangan kota-kota di Indonesia menjadi kota metropolitan yang pengaruhnya berdampak luas kota-kota satelit di sekitarnya. Perkembangan kota Bogor ini merupakan suatu hal yang perlu dicermati terutama berkaitan dengan perkembangan identitas kota pada kota-kota regional (regional city) di Indonesia pada masa yang akan datang.
Permukiman menurut Undang-Undang No.4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman adalah, bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik dalam lingkup perkotaan maupun pedesaan, dan juga memiliki fungsi sebagai lingkungan tempat hunian serta tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.. Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1992, pasal 1 (satu) angka 4(empat) : disebutkan pula bahwa, satuan lingkungan permukiman merupakan kawasan perumahan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang tertentu, yang dilengkapi sistem prasarana dan sarana lingkungan, dan tempat kerja terbatas dan dengan penataan ruang terencana dan teratur sehingga memungkinkan pelayanan dan pengelolaan yang optimal. Dengan demikian dapat dipahami bahwa permukiman terdiri dari komponen: perumahan, jumlah penduduk, tempat kerja, sarana dan prasarana.
Antara kota dan pemukiman penduduk merupakan hal yang tidak dapat di pisahkan. Kota merupakan pusat dimana manusia modern hidup, bekerja, berkehidupan sosial dan bertempat tinggal. Perkembangan kota akan sebanding dengan perkembangan pemukimannya. Dimana dengan semakin tingginya pertumbuhan kota akan semakin banyak arus urban yang akan mendiami kota maju tersebut.

Perkembangan Kota
Kota-kota pedalaman di Indonesia telah memancarkan pesona masing-masing sejak dulu kala, ketika bangsa Eropa sedang giat-giatnya menjelajah bumi Nusantara dan menikmati hasil alamnya. Jika kita sejenak meluangkan waktu untuk mempelajari bagaimana mereka menghargai keindahan dan kenyamanan lingkungan hidup di kawasan sejuk pedalaman, kita bisa menengok (misalnya) Bandung dan Malang sebagai dua kota yang terkenal kaya akan asset arsitektur dan perkotaan kolonial. Berbekal otoritas mereka sebagai kelas puncak dalam sistem ‘kasta’ kolonial di Hindia Belanda, masyarakat Eropa berusaha menikmati iklim sejuk dan suasana alam di pedalaman dengan menghuni rumah-rumah lapang lega yang dirancang dengan baik, yang didirikan di atas bidang tanah yang berpenghijauan baik pula. Karena tidak berkesempatan untuk memiliki kemewahan serupa di negeri asal mereka, masyarakat expatriat Eropa benar-benar tahu cara memanjakan diri mereka di kota-kota pedalaman ini.
Berkembang pesat seiring dengan ekspansi kolonial pada akhir abad ke-19 (pasca VOC), kota-kota pedalaman berkembang dari nukleus-nukleus permukiman yang dihubungkan oleh Groote Postweg (Jalan Raya Pos, dibangun mulai 1811 oleh Daendels) dan maraknya perdagangan, industri, dan distribusi barang. Bermuara di kota-kota pesisir (di Jawa, misalnya Semarang, Surabaya, dan Batavia), jaringan perdagangan berhulu di pertanian, perkebunan, dan hutan yang dihubungkan oleh kota-kota pedalaman ini. Selain itu, karena letaknya strategis, kota-kota pedalaman ini juga sering berfungsi sebagai pusat pos-pos militer Belanda (misalnya Magelang), sebagai benteng bagi pusat-pusat kekuasaan dan ekonomi yang berada di kota-kota pesisir.
Peranan kota-kota pedalaman juga dipacu dengan terhubungkannya mereka dengan jalur kereta api. Jalur kereta api pertama di Indonesia (Hindia Belanda) dibuka pada tanggal 10 Agustus 1867. Jalur tersebut merupakan jalur perdana Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (Maskapai Kereta Api Hindia Belanda, NIS) yang menghubungkan Semarang dengan Yogyakarta dan Surakarta untuk mendukung distribusi hasil bumi (khususnya tebu). Selanjutnya NIS membuka jalur Batavia – Buitenzorg pada tahun 1873.

Perencanaan Kota Modern Awal Abad Ke-20
Menyusul Politik Etis yang dicanangkan Ratu Wilhelmina pada 1901 mendorong diberlakukannya sistem desentralisasi di Hindia Belanda. Hal ini membuka peluang bagi daerah-daerah jajahan untuk menata dirinya sendiri, khususnya dalam menanggulangi permasalahan perkotaan seperti terpuruknya kebersihan dan kesehatan yang disebabkan oleh kepadatan penduduk dan ketidakteraturan.
Sistem sentralisasi yang dijalankan oleh penguasa pusat di Buitenzorg tidak mampu menangani masalah-masalah yang detail tetapi penting seperti itu, sehingga sebagai jalan keluar diterbitkanlah Undang-Undang Desentralisasi 1903. Konkretnya dibentuklah kotamadya-kotamadya (stadsgemeenten) dan kabupaten-kabupaten (gewesten) pada kurun waktu 1903-1940. Batavia merupakan stadsgemeenten pertama yang didirikan pada 1905 dengan langsung disusul kota-kota lain. Pada tahun 1918 telah ada 18 kotamadya dan 70 kabupaten di Hindia Belanda. Dewan kota (gementee) bertugas diantara lain dalam hal permukiman dan perumahan, pembangunan jalan dan saluran air, pengawasan bangunan (mencakup dari rumah tinggal, hingga pasar dan rumah pemotongan hewan). Untuk itu, timbul pula inisiatif untuk membuat perangkat hukum dan panduan yang mendukung. Percobaan juga dilakukan di Batavia (1 April 1905), Bandung (1906), Surabaya (1906), dan Semarang (1907).
Orang yang paling menonjol kontribusinya dalam pembentukan rancangan kota-kota di Hindia Belanda pada masa ini adalah Ir. Thomas Karsten (1884-1945). Karsten dengan semangat modernitas dan sosialnya ditugaskan untuk membuat paket-paket rancangan untuk kota-kota, mulai dari rencana keseluruhan (misalnya peruntukan lahan) hingga detil (seperti tipologi jalan dan penghijauan, sanitasi publik) dan peraturan bangunan (misalnya garis sempadan bangunan dan pengelompokan tipe hunian). Di Jawa, kontribusi Karsten meliputi Semarang (1916-1920), Bandung, Batavia/ Jakarta, Magelang, Malang (1933), Buitenzorg/ Bogor (1920), Madiun, Cheribon/ Cirebon, Meester Cornelis/ Karawang, Yogyakarta, Surakarta, dan Purwokerto. Karsten menentang perencanaan kota “tradisional” yang memilah-milah hunian kota berdasarkan ras/ etnis dan mengusulkan pembagian menurut tingkatan ekonomi lebih masuk akal sebagai dasar perencanaan kota modern. Idenya didukung dengan usulan tipe-tipe permukiman dan hunian yang sesuai dengan status ekonomi penghuninya.

Bentuk Awal dan Perkembangan Kota Bogor
Buitenzorg
Kota Bogor dahulu bernama Pakuan, merupakan ibu kota pemerintahan Kerajaan Pajajaran. Daerah ini menjadi pusat pemerintahan Prabu Siliwangi yang dinobatkan pada 3 Juni 1482. Hari penobatannya ini diresmikan sebagai hari jadi kota Bogor dan diperingati setiap tahunnya hingga saat ini. Selain itu, senjata khas kerajaan Pajajaran yaitu Kujang dijadikan lambang kota Bogor dan dijadikan Landmark kota dalam bentuk Monumen Kujang.
Meskipun secara umum dan politis diakui bahwa cikal bakal Kota Bogor adalah Ibukota Kerajaan Hindu Pajajaran (Pakuan), Bogor sebagai kota modern sebenarnya baru lahir pada kurun waktu 1745-1845. Proses terbentuknya Bogor diawali dengan dibangunnya Vila Buitenzorg (1745, sekarang Istana Bogor). Vila tersebut dibangun atas prakarsa Gubernur-Jenderal G.W. Baron van Imhoff (1743-50) untuk berfungsi sesuai namanya, “buitenzorg” (Belanda), yang berarti “free from care” (Inggris) atau “sans souci” (Perancis), sebagai tempat beristirahat dari segala kesibukan (di Batavia) dan juga sebagai pos kunjungan ke daerah Priangan.
Pada waktu itu, Bogor belum merupakan permukiman yang terorganisir mandiri dan lebih merupakan tanah luas yang dimanfaatkan sebagai kawasan pendukung Batavia. Pada 1687, Letnan Tanoe-Djiwa (seorang letnan bagi masyarakat pribumi, Lieutenant der Javanen) diperintahkan oleh Gubernur-Jenderal Johannes Camphuijs (1684-1691) untuk membuka Hutan Pajajaran sebagai lahan pertanian yang pada akhirnya dinamakan ‘Kampoeng Baroe’. Kawasan ini mencakup kampung-kampung: Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banteng, dan Cimahpar, dengan Kampung Baru sebagai pusatnya. Akhirnya pada 1745, sembilan kampung (Tjisaroea, Pondok Gede, Tjiawi, Tjiomas, Tjitdjeroek, Sindang Barang, Balaoboer, Darmaga, dan Kampoeng Baroe) disatukan dalam satu pemerintahan di bawah kekuasaan seorang demang dengan nama “Regentschap Kampoeng Baroe” (kemudian dinamakan “Regentschap Buitenzorg”).
Pembentukan karakter tata ruang Bogor banyak dipengaruhi oleh praktik penjualan tanah pada jaman van Imhoff ini. Van Imhoff sendiri membeli sebidang tanah Kampung Baru tersebut dan menamakannya Buitenzorg. Pada kelanjutannya, sebidang tanah dan bangunan yang sekarang disebut Istana Bogor ini secara status dimiliki oleh Gubernur Jenderal selama masa jabatannya (ex officio). Sedangkan tanah-tanah disekitarnya, pada jaman Daendels (1811-1816), dijadikan tanah-tanah partikelir yang diperjualbelikan maupun disewakan sehingga hampir seluruh tanah di kawasan ini dimiliki secara swasta. Tanah-tanah ini diatur oleh demang/ mandur (overseers) yang ditunjuk oleh pemiliknya dengan tetap diawasi oleh pemerintah. Sistem partikelir ini didukung oleh tidak adanya kekuasan priyayi lokal maupun struktur kekuasaan pribumi yang kuat seperti yang terdapat di daerah lain. Pada fase embrio ini, Bogor dibentuk seakan-akan sebagai pulau-pulau kecil yang digabungkan oleh sebuah pusat, yakni Vila Buitenzorg. Dengan penataan aksis dan lingkungan pendukungnya (dibangun pada 1799), Vila Buitenzorg timbul sebagai monumen yang tidak tersaingi pada radius yang cukup luas di daerah Priangan pada masa ini.
Bentuk vila ini sendiri telah berubah beberapa kali sesuai dengan suksesi kepemimpinan gubernur-jenderal. Jacob Mossel membangun kembali vila ini sebagai sebuah istana pada kurun 1759-1761. Van Alting (1780) memutuskan untuk menjadikan istana ini sebagai kantor resmi Gubernur-Jenderal VOC. Tempat ini menjadi lebih penting setelah Algemeene Secretarie (Sekretaris Jenderal) ditempatkan di situ (1888), hingga pada akhirnya dijadikan Istana Kepresidenan RI setelah Indonesia merdeka. Kebun Raya Bogor sendiri pada awalnya berfungsi sebagai “backyard” dari Istana Bogor, sebelum pada akhirnya diresmukan sebagai Kebun Raya Bogor (“Hortus Botanicus Bogoriensis”) pada 1887 oleh Prof. Dr. C.G.C. Reinwardt, seorang botanis Jerman.

Zone Etnis dan Struktur Kota
Seperti halnya kebanyakan kota-kota kolonial, pusat Kota Bogor merupakan konsentrasi dari 3 (tiga) nukleus etnis; Eropa, Cina, dan Pribumi. Zona permukiman masyarakat Eropa ditandai dengan berbagai gedung-gedung pemerintahan dan fasilitasnya (sebagai civic center), permukiman-permukiman yang didominasi rumah-rumah vila, dan berbagai fasilitas umum dan bangunan-bangunan komersial (kantor-kantor, rumah sakit, sekolah, dan lain-lain). Meskipun memiliki jumlah penduduk yang sangat kecil, zone Eropa menempati porsi lahan terbesar. Zone permukiman Eropa di Bogor dapat kita tandai mulai di sekeliling Kebun Raya Bogor, gedung-gedung institusi di sepanjang Jalan Ir. Juanda, Jalan A. Yani (untuk fungsi-fungsi perkantoran dan pemerintahan), hingga daerah Ciwaringin (ke arah Utara) dan daerah Taman Kencana (Timur) (untuk fungsi hunian).
Bangunan-bangunan yang menampung fungsi-fungsi penting (Kota Bogor maupun Hindia Belanda) bermunculan. Selain Istana Bogor yang ditempati oleh Gubernur Jenderal dan Sekretaris Jenderal, fungsi-fungsi birokrasi lain ditempatkan disekelilingnya. Juga halnya dengan fasilitas lain seperti Gereja Katedral, sekolah-sekolah, kantor Residen, dan hotel-hotel (misalnya Hotel Binnenhof; sekarang Hotel Salak). Hotel Belle Vue, yang terletak menghadap Gunung Salak (sekarang Bioskop Ramayana), merupakan hotel yang sangat terkemuka saat itu. Dikembangkannya Bogor (dan Kebun Raya-nya) sebagai pusat penelitian tanaman menjadikan Bogor subur akan lembaga-lembaga penelitian pertanian dan perhutanan sehingga Bogor juga menyimpan sejumlah koleksi bangunan perkantoran modern awal abad ke-20 yang masih terpelihara cukup baik. 


Permukiman Eropa di bagian Utara tersebar dan terkelompok berdasarkan tingkatan ekonominya. Rumah-rumah Belanda bertipe besar dan luas untuk kaum elit banyak terdapat di tepi jalan-jalan utama, sedangkan rumah-rumah yang lebih kecil untuk tingkatan karyawan/ pengusaha biasa tersebar di jalan-jalan sekunder. Meskipun banyak dari fisik rumah-rumah tersebut bertahan baik hingga kini, setelah 1942, kepemilikan mereka serentak berpindah dari tangan orang-orang Eropa ke orang-orang Indonesia (Pribumi maupun Tionghoa). 


Masyarakat Tionghoa telah mengadakan hubungan intensif dengan kerajaan-kerajaan pedalaman Priangan sebelum Belanda berekspansi. Peninggalan sebuah altar pemujaan (shrine) yang bertahun 1678 yang terletak di delta Sungai Ciliwung (Pulo Pasar/ Pulau Parakan Baranangsiang/ Pulo Geulis terletak di sebelah timur dari pecinan yang sekarang) membuktikan bahwa masyarakat Tionghoa telah menetap di sana. Peran masyarakat Tionghoa dalam pembentukan sebuah kota di Jawa (maupun Asia Tenggara pada umumnya) sebenarnya sangat penting, terutama karena mereka memainkan peranan sebagai perantara (distributor) dalam sistem perdagangan maupun sosial dalam struktur masyarakat kolonial (terutama pada abad ke-19). Selain itu, sistem struktur perkotaan yang mereka kembangkan dalam lingkungan mereka sendiri telah begitu modern dengan (tentunya) tidak lepas dari hegemoni struktural yang diterapkan pemerintahan kolonial.
Pecinan Bogor terletak di penggal jalan Suryakencana yang merupakan penggal Jalan Raya Pos yang berada di selatan Istana Bogor. Diawali oleh Klenteng Hok Tek Bio (berdiri 1867) dan Pasar Bogor (berdiri 1872), pecinan yang dipenuhi rapat oleh ruko-ruko (rumah-toko) memanjang ke arah Gunung Gede/ Pangrango sepanjang kira-kira 1,5 kilometer. Dengan diapit oleh dua sungai (Ciliwung di timur, dan Cipakancilan di barat), struktur pecinan Bogor dibentuk oleh 3 jalan utama yang paralel, dengan jalan Suryakencana sebagai jalan utamanya. Dahulu jalan ini bernama Handelstraat atau Jalan Perniagaan yang menandakan fungsinya sebagai sentra ekonomi kota. Masyarakat Tionghoa yang juga terkotak-kotak dalam kelas sosial, menempati hunian sesuai dengan kelas mereka. Golongan pedagang berkumpul di sekitar Pasar Bogor, sedangkan golongan bawah (kebanyakan Peranakan) menghuni ruko-ruko sewa dan rumah-rumah petak di balik ruko-ruko. Golongan atas/ elit (biasanya Peranakan dengan pendidikan Belanda, opsir Belanda, profesional) cenderung tidak berdagang, dan menghuni bagian selatan pecinan. Rumah mereka biasanya sedikit banyak mencirikan gaya hidup mereka yang “kebarat-baratan”: menggunakan corak-corak yang biasa ada di bangunan-bangunan Belanda, ataupun menghuni rumah “tipe vila”.
Berkembang akibat pertumbuhan ekonomi, pecinan mengalami banyak transformasi bentuk. Mulai dari perubahan fisik bangunan-bangunannya, hingga pemadatan hunian di kantong-kantong di balik ruko-ruko. Terlebih setelah dihapuskannya wijkenstelsel (peraturan zone etnis) pada 1915, pembauran permukiman Tionghoa dan Pribumi semakin pesat di kawasan-kawasan kantong ini. Karakter fisik pecinan Bogor sendiri memudar seiring dengan diberlakukannya diskriminasi oleh Pemerintah Orde Baru, yang secara umum juga dialami berbagai pecinan lain di Indonesia). Peran institusi-institusi sosial budaya masyarakat Tionghoa memudar juga; seperti fisik Hok Tek Bio yang semakin tenggelam dengan keramaian dan penataan lingkungan pasar, begitu pula dengan dihapuskannya sekolah-sekolah Tionghoa, digantikan dengan toko-toko yang lebih meriah dan beragam.
Masyarakat Pribumi sebenarnya tidak memiliki konsentrasi area khusus seperti halnya masyarakat Eropa dan Cina. Tetapi karena absennya kekuasaan lokal di kawasan partikelir ini, meleluasakan pemerintah kolonial untuk mengembangkan daerah ini sesuai dengan keinginannya. Demang Wiranata (1749-1758 ) mengajukan permohonan pada Gubernur Jenderal untuk membuka lahan di Sukahati (Empang, dahulu masih dalam pekarangan Istana Bogor). Dengan terletak rendah membelakangi Sungai Cisadane, daerah ini ditandai dengan alun-alun Empang yang pola penataannya mengikuti model alun-alun pada umumnya (dikelilingi Istana Residen dan Masjid, dan ditanami dengan 5 pohon beringin), namun dengan aksis mengarah ke Istana Bogor. Kawasan ini kemudian berkembang sebagai konsentrasi permukiman Pribumi dan Arab (permukiman Arab ditandai dengan masjidnya sendiri). Kawasan ini juga tumbuh sebagai kawasan komersial dan perdagangan meski secara skala masih di bawah Jalan Suryakencana.

Bogor Sebagai Sub Sistem Pembangunan Jabodetabek
Setelah Indonesia merdeka, seiring peresmian nama Bogor sebagai nama resmi wilayah yang dulu disebut Buitenzorg, kota ini pun lambat laun kehilangan kedudukan sentralnya seperti pada masa kolonial. Sejak tahun 1950 Kota Bogor, bersama Tangerang dan Bekasi, menjadi kota yang direkomendasikan oleh Tim Jabotabek untuk dimasukkan ke dalam wilayah kota metropolitan Jakarta. Kota Bogor diproyeksikan menjadi kota satelit bagi Jakarta. Namun realisasi dari program itu baru terlaksana pada tahun 1970-an melalui pelaksanaan proyek jalan tol pertama di Indonesia yang dikenal dengan nama Jagorawi. Proyek ini dimulai dari tahun 1973 dan baru rampung serta diresmikan penggunaannya pada tahun 1978. 
Pada tahun 1976 dikeluarkan Instruksi Presiden no. 13 tahun 1976 tentang Jabotabek (Jakarta-BogorTangerang-Bekasi) di mana wilayah Kota Bogor ditetapkan sebagai salah satu kota penyangga ibukota dan sebagai kota permukiman (dormitory town). Beberapa pokok Kebijaksanaan Pengembangan Wilayah Jabotabek adalah sebagai berikut:

  1. Meringankan tekanan penduduk di wilayah DKI Jakarta, sehingga kehidupan sosial ekonomi dan budaya dapat berlangsung serasi.
  2. Mengusahakan agar kegiatan industri dan perdagangan yang terdapat di wilayah DKI. Jakarta dapat lebih mendorong kegiatan-kegiatan yang berkaitan di daerah lain, terutama di daerah yang berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta.
  3. Menyerasikan perkembangan pada daerah-daerah perbatasan antara wilayah DKI. Jakarta dengan wilayah Botabek (Bogor-Tangerang-Bekasi).
  4. Mengembangkan pusat-pusat permukiman di wilayah Botabek dengan bentuk-bentuk permukiman baru.

Struktur  wilayah  metropolitan  Jabodetabek,  dapat  dilihat  dengan  adanya jumlah migrasi yang keluar dan masuk DKI Jakarta dan kota sekitarnya. Jumlah ini menunjukkan suatu keterkaitan karena adanya pergerakan yang dapat disebabkan oleh kegiatan ekonomi (tempat bekerja), perumahan (tempat tinggal), dan lainnya. Keterkaitan  ini  juga didukung oleh adanya infrastruktur terutama transportasi dan komunikasi yang mendorong aliran informasi antar daerah.
Antara kota induk dengan kota-kota satelitnya dilengkapi dengan sarana transportasi massal yang mampu memenuhi kebutuhan para komuter. Pola permukiman di kota-kota pinggiran kemudian berkembang mengikuti letak prasarana transportasi metropolitan  yang menghubungkan kota induk. Para pengembang berlomba-lomba membangun permukiman yang berlokasi dekat akses ke jalan tol atau stasiun KRL. Fenomena commuter (penglaju) di Kota Bogor terlihat dari tingginya jumlah perjalanan menuju Jakarta tiap harinya. Banyak penduduk Bogor yang menghabiskan waktunya lebih banyak di Jakarta. Mereka berangkat ke Jakarta untuk berkerja dari jam 6 pagi dan baru pulang ke rumahnya di Bogor jam 8 malam. Menurut Bappeda Kota Bogor (RPJPD 2005-2025), pada tahun 2004 jumlah perjalanan dari Kota Bogor menuju Jakarta menggunakan kendaraan pribadi adalah 53.188 perjalanan/hari dan yang menggunakan kendaraan umum sebanyak 25.972 perjalanan/hari. Pergerakan ke Jakarta menggunakan moda Kereta Api tahun 2004 menurut catatan Stasiun Bogor rata-rata sebanyak 28.572 perjalanan orang/hari. 


Semakin mudahnya akses dan singkatnya waktu tempuh Jakarta-Bogor menyebabkan Bogor menjadi salah satu alternatif daerah tujuan untuk bermukim. Kota Bogor secara riil berperan sebagai sub-urban dari Jakarta sehingga banyak menarik pendatang untuk dipilih menjadi tempat tinggal di dalamnya (dormitory town). Kota Bogor tumbuh sebagai kota berbasis pemukiman para pekerja yang mencari nafkah di Jakarta. Hal ini secara nyata terlihat dengan menjamurnya perumahan sejak awal tahun 1990-an. Data tahun 2007 menunjukkan bahwa terdapat 90 perumahan, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun pengembang swasta.

Bogor Masa Kini
Bogor sejak pada masa Orde Baru diikutsertakan dalam perencanaan Jabotabek (Jakarta Bogor Tangerang Bekasi) sebagai kawasan metropolitan terpadu. Dalam perannya, Bogor diharapkan menjadi daerah penyangga Ibukota dalam hal permukiman penduduk (yang diproyeksikan mencapai 4 juta jiwa pada 2005) dan sebagai daerah resapan dan cadangan air.
Dalam iklim ekonomi yang tumbuh pesat, Bogor sendiri bertumbuh. Perencanaan tata ruang yang dimulai pada 1970-an memproyeksikan sebuah jalan lingkar luar di sebelah timur Bogor yang juga dihubungkan dengan Jakarta lewat Jalan Tol Jagorawi pada tahun 1980. Daerah di sekeliling lingkar luar tersebut diperuntukkan bagi pengembangan pasokan perumahan baik kecil, menengah, maupun atas yang menjamur pesat. Mulai dari Perumnas (Bantarjati dan Bantarkemang), perumahan Bogor Baru, hingga perumahan elit Vila Duta. Memasuki dasawarsa 1990, daerah utara Bogor (Cimanggu) dikembangkan juga sebagai daerah permukiman baru yang memiliki akses ke Jakarta lewat Parung (jalan lama).

Potret Kehidupan Masyarakat Perumahan Indraprasta II
Perumahan Indraprasta II merupakan perluasan dari proyek Perumahan Nasional (Perumnas). Dalam sejarah perumahan di Indonesia dikenal kebijakan perumahan yang merupakan bagian dari Repelita I (1969-1974). Sebagai implikasinya kemudian dikeluarkan Keputusan Presidien RI No.29/1974 tentang pembentukan Perusahaan Umum Perumahan Nasional (Perum Perumnas) (Silas, 2005 :14). Perumnas di Kota Bogor pada awalnya merupakan sebuah perumahan yang menempati areal yang sangat luas. Namun seiring perkembangan zaman, kemudian areal ini dibagi-bagi ke dalam beberapa unit komplek perumahan. Salah satunya yang terbesar adalah Perumahan Indraprasta I yang mulai dibangun pada awal tahun 1990. Semakin membaiknya sarana transportasi di wilayah tersebut, membuat pengembang kemudian membuat kembali Perumahan Indraprasta II pada akhir tahun 1990-an dengan keunggulan akses jalan yang langsung ke jalan tol. Kemudahan ini kemudian membuat perumahan ini laku, terutama dari kalangan para pekerja yang berkator di Jakarta, namun lebih memilih bermukim di Kota Bogor. Dalam perkembangannya, karena letaknya yang strategis di sekitar komplek Indraprasta II ini kemudian bertebaran pula tempat-tempat usaha, seperti Factory Outlet (FO), bengkel, dan yang paling banyak adalah usaha rumah makan.
Dalam kehidupan masyarakatnya pun dapat dikatakan unik. Hal ini disebabkan oleh letak wilayah Perumahan Indraprsta itu sendiri. Walaupun dalam kompleks perumahan itu didominasi oleh masyarakat perkotaan, namun di sekitar tempat tersebut terdapat pula masyarakat-masyarakat asli terutama yang berasal dari wilayah Cimahpar. Relasi diantara para penduduk di kompleks ini dapat sangat mencerminkan kehidupan masyarakat perkotaan yang lebih cenderung individualis, mengembangkan hubungan yang bersifat formal, dan bersifat profesional. Namun bukan berarti relasi diantara penghuni kompleks tersebut tidak berjalan . Hal ini terutama ditujukkan dengan diadakannya acara arisan rutin kompleks setiap satu bulan sekali yang pelaksanaannya dilakukan secara bergiliran. Selain itu, setiap hari minggu pun diadakan kegiata olahraga bersama dari semua kalangan umur yang secara tidak langsung berfungsi untuk menjalin dan membangun relasi yang baik antara sesama warga komplek. Sedangkan intensitas hubungan antara warga komplek dengan penduduk asli sekitar juga cukup baik. Hal ini, paling tidak ditujukkan dengan dikaryakannya beberapa penduduk asli, baik sebagai asisten rumah tangga, maupun sebagai tenaga keamanan di wilayah komplek.
Dari data penggunaan lahan diketahui bahwa penggunaan lahan dominan adalah untuk kegiatan perumahan dan permukiman yaitu sebesar 4.577 Ha (38,63% dari luas lahan kota). Hal ini dikarenakan karena Kota Bogor secara riil berperan sebagai sub-urban dari Jakarta sehingga banyak menarik pendatang untuk dipilih menjadi tempat tinggal di dalamnya (dormitory town). Pengembangan perumahan di Kota Bogor pada saat ini masih dengan menggunakan konsep landed house atau berkembang secara horizontal, untuk mengantisipasi keterbatasan lahan di Kota Bogor, terutama di kawasan pusat kota maka sudah sebaiknya untuk dimulai pembangunan rumah dengan konsep vertikal untuk semua golongan, baik itu rumah susun maupun apartemen.
Pada umumnya pertumbuhan perumahan atau permukiman skala besar di Wilayah Bogor terjadi secara spontan. Dalam hal ini pola pertumbuhan atau perkembangan tidak mengikuti sistem kota-kota yang berjenjang. Akibatnya terjadi ketidakefektifan dan kurang efisiennya pelayanan jaringan prasarana. Selain itu, dengan adanya kota baru atau permukiman berskala besar beserta kegiatan ekonomi yang mengikutinya mendorong perubahan ordo kota di beberapa kota kecil seperti Kota Cikupa, Pasar Kemis dan lain sebagainya.  


Perkembangan permukiman skala besar ditandai oleh pesatnya permintaan akan lahan untuk kegiatan usaha atau tempat hunian, khususnya kawasan perumahan sebagai akibat perkembangan ekonomi yang cukup pesat di Kota Jakarta. Sehingga perkembangan permukiman di wilayah sub-urban Jabotabek yang terjadi pada umumnya masih punya ketergantungan yang sangat tinggi dengan Kota Jakarta. Pembangunan perumahan di kota Bogor sejak ditetapkan sebagai hinterland Jakarta lebih didasarkan pada kedekatan dan kemudahan akses transportasi bagi para commuter. Setelah adanya jalan tol Jagorawi tahun 1970an perumahan awal (perumnas) berlokasi di daerah Bantarjati  dan sekitarnya. Perumahan ini ditujukan bagi masyarakat berpengasilan menengah dan menengah ke bawah. Penduduk perumahan ini 60% bekerja di dalam kota Bogor dan sisanya bekerja di Jakarta. Penduduk yang bekerja di Jakarta banyak menggunakan akses jalan kabupaten Bogor maupun terminal Baranangsiang.
Perumahan yang lebih baru ada di kawasan Ciomas dan Cimanggu. Perumahan di kawasan ini lebih ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan menengah dan menengah ke bawah. Pemilihan lokasi perumahan didasarkan karena dekatnya dengan stasiun Bogor dan kemudahan angkutan kota untuk mencapai stasiun tersebut. Sebagian besar penduduk di kawasan ini (75%) bekerja di Jakarta dan menggunakan KRL sebagai moda transportasinya. Kawasan perumahan lain yang juga relatif baru adalah di kawasan Bogor bagian Timur sampai dengan Tajur seperti perumahan Villa Duta dan Bogor Nirwana Residence (BNR). Pihak pengembang merencanakan perumahan ini untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke atas. Penduduk perumahan ini sebagian besar bekerja di Jakarta dan menggunakan kendaraan pribadi melalui akses jalan tol Jagorawi. Karena daerah ini relatif belum padat, selain perumahan juga di bangun tempat-tempat rekreasi seperti water boom “The Junggle”  yang cukup luas dan lengkap.  


Pola penyebaran daerah terbangun masih berpusat di Pusat Kota Bogor, sedangkan daerah pinggiran relatif lebih kecil dari penggunaan lahan terbangun, terutama di Kecamatan Bogor Selatan, Bogor Barat, dan sebagian kecil di Tanah Sereal dan Bogor Utara. Hal ini terjadi sebagai akibat dari terkonsentrasinya kegiatan ekonomi di pusatpusat kota sehingga untuk meminimalisasi jarak banyak penduduk Bogor yang juga tinggal di pusat kota, walaupun kondisi perumahannya sudah tidak nyaman dan bersih. Untuk daerah pinggiran maka pola ruangnya adalah bersifat memita (ribbon) terutama pada ruas-ruas jalan utama seperti Jalan Pajajaran, Jalan Raya Tajur dan Jalan Raya Sholeh Iskandar. Hal ini mengakibatkan bangkitan perjalanan di Kota Bogor berpusat pada ruas-ruas jalan tersebut sehingga jalan-jalan tersebut yang seharusnya berfungsi arteri tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Banyaknya penduduk dengan gaya hidup perkotaan yang pindah dari Jakarta ke Bogor menyebabkan kebutuhan akan fasilitas perkotaan modern seperti shopping mall, fast food restaurant, dan lain-lain. Kecepatan modernisasi kota menjadi lebih cepat dan pengendalian pembangunan kawasan perdagangan menjadi sulit dilaksanakan. Efek globalisasi yang terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta ikut menyebar ke kota-kota pinggirannya. Terjadi proses universalisasi akibat persebaran informasi, produk, dan lain-lain. Selain itu globalisasi juga dapat dilihat sebagai de-teritorialisasi akibat adanya intesifikasi hubungan secara menyeluruh antar  kota-kota di dunia sehingga apa yang terjadi di suatu tempat dapat mempengaruhi atau dipengaruhi tempat lain.
Kawasan sepanjang jalan Pajajaran merupakan pusat pertokoan dan perdagangan yang paling tinggi intensitasnya. Pola pembangunan linear (ribbon Development) ini memanjang sampai ke Tajur melewati Kebun Raya, tugu Kujang, dan terminal Baranangsiang. Di kawasan ini juga berdiri beberapa bangunan pusat perbelanjaan

Wawancara terhadap beberapa penglaju (comuter) yang berdomisili di Bogor dan bekerja atau kuliah di Jakarta menunjukkan bahwa place attachment mereka terhadap kota Bogor cukup tinggi. Hampir seluruh responden menyukai tinggal di Bogor dan tidak mau bila rumah mereka diganti atau ditukar dengan rumah daerah lain misalnya Bekasi. Padahal hanya setengah dari mereka yang asli orang Bogor, sisanya merupakan pendatang. 
Tumbuhnya pendudukan dan permukiman ini tentunya membutuhkan sarana-sarana seperti sekolah, pusat perbelanjaan, hiburan, dan juga prasarana jalan juga transportasi yang memadai. Ketidaksiapan satu komponen esensial kota dapat mengakibatkan kepincangan sistem kota dan berbagai dampak. Hal ini nampak dari berbagai permasalah yang dihadapi warga Bogor khususnya, dan juga warga Jabotabek pada aspek-aspek tertentu. Di satu sisi, Kota Bogor menghadapi tantangan untuk dapat mempertahankan kualitas lingkungannya sedangkan di sisi lain Kota Bogor juga terdesak oleh pertumbuhan kotanya sendiri dan juga perkembangan Jabotabek yang sangat pesat.
Hal ini nampak jelas pada suasana Bogor pasca 1990 yang penuh dengan kemacetan di mana-mana. Media massa sejak itu mulai banyak menyoroti Bogor yang dikurung kemacetan pada ruas-ruas jalan antar kotanya. Hal ini diwarnai oleh isu “hangat” izin trayek angkutan umum yang kian membengkak melebihi kapasitas dan permintaan sejak beberapa tahun lalu, yang juga diiringi meningkatnya pemakai kendaraan bermotor di Bogor. Hal ini diperburuk dengan fungsi Bogor sebagai kota permukiman yang dihuni masyarakat “komuter”, yang bekerja di Ibukota pada siang hari dan kembali ke Bogor pada malam/ sore hari, yang menambah beban lalu lintas pada jam-jam tertentu setiap harinya.
Fungsi Bogor sebagai tempat beristirahat/ rekreasi bagi masyarakat Jakarta juga telah nyata membebani fasilitas jalan dan kenyamanan lingkungan. Kesohoran kawasan Puncak menarik penduduk Jabotabek untuk memiliki sebuah rumah wisata pribadi di kawasan yang sejuk ini sehingga pada tahun 1990-an hal ini berkembang menjadi permasalahan pelik yang telah menyebabkan fenomena “banjir kiriman” di Jakarta. Pada akhir Minggu, tidak pelak spot-spot tertentu di Bogor yang terkenal akan oleh-oleh dan makanan khas dipenuhi oleh mobil-mobil berpelat B yang secara akumulatif mengakibatkan kemacetan di seluruh kota, belum lagi dengan adanya acara-acara seperti resepsi di gedung-gedung pertemuan yang kekurangan tempat parkir, yang seharusnya sudah mengantisipasi kapasitas tempat bagi pengunjung dan kendaraannya sejak awal perencanaannya (atau dari proses pemberian izinnya).
Urban sprawling juga menjadi isu penting di sebuah kota yang senantiasa bertumbuh ini. Tidak terkendalikannya pertumbuhan fisik ke arah pinggiran kota menyebabkan hilangnya batas tegas antara kota dengan daerah pinggiran. Daerah yang dulu merupakan suburban telah berubah menjadi urban, seiring dengan bertambah luasnya Kotamadya Bogor (ke arah selatan, batas Kota Bogor bergeser dari daerah Tajur ke Ciawi). Daerah pinggiran sekarang telah berubah menjadi daerah perkotaan, sehingga banyak fungsi-fungsi (seperti pabrik) yang tadinya berada di “luar” kota sekarang berada di “dalam” kota dengan berbagai dampaknya. Pertumbuhan sarana dan prasarana bagi daerah yang melejit pesat ini nampaknya juga tak kunjung seimbang.
Di sisi pranata, hukum dan pengawasan yang berlaku tidak menjamin tertib dan terencananya pertumbuhan. Akhir-akhir ini dipermasalahkan seputar isu tata guna bangunan dan peruntukan lahan yang tidak lagi dipatuhi. Masalah menjamurnya trend bisnis factory outlet dan cafe, seperti yang “diilhami dari Kota Bandung”, nampak “tidak terkendalikan” dan bisa diramalkan hal ini akan terus berlanjut. Ini disebabkan banyak hal yang saling tumpang tindih. Di satu sisi, Kota Bogor sedang memicu tumbuhnya tempat-tempat komersial dan perkantoran untuk mengimbangi pertumbuhannya sebagai pusat jasa dan distribusi bagi daerah sekitarnya. Di sisi lain, sarana dan penataan fisik yang ada masih didominasi penataan kota warisan 1920 dengan modifikasi tahun 1970-an yang belum mengantisipasi pertumbuhan kota seperti sekarang ini. Akibatnya banyak fungsi-fungsi hunian berubah menjadi tempat usaha, bisnis, dan perkantoran meskipun hal tersebut telah melewati ketentuan yang berlaku. Ruko-ruko menjamur tanpa menghiraukan konteks tempat di mana mereka berada karena yang menjadi tujuan mereka berdiri adalah bahwa ruko-ruko tersebut dapat memberikan uang sewa dan hasil penjualan setinggi-tingginya kepada pemiliknya. Persimpangan jalan dan jalan-jalan utama nampak menjadi sasaran menjamurnya bisnis-bisnis “spontan” ini. Dari segi perizinan, ruko-ruko tersebut nampaknya berperan seperti “bunglon” karena fleksibilitas fungsi mereka, siap berubah setiap saat menjadi apakah itu hunian, kantor, toko, ataupun tempat hiburan. Akhir-akhir ini perihal peruntukan lahan dan tata guna bangunan ini mulai mencuat sehingga media massa lokal juga telah menyoroti ketidaktegasan dalam penegakkan aturan yang nampak gamblang di lapangan.
Kalaupun ditegakkan dengan semestinya, aturan-aturan yang telah ditetapkan juga masih bisa dipertanyakan kesahihannya dari segi visi dan konseptual. Contoh konkret adalah masih digunakannya pendekatan pelebaran jalan sebagai solusi kemacetan lalu lintas yang diramalkan sama sekali tidak memecahkan inti permasalahan. Untuk mendukung proyek tersebut, misalnya di Jalan Suryakencana – jalan niaga utama kota Bogor – menerapkan aturan garis sempadan bangunan 8 meter dari bahu jalan untuk mengantisipasi pelebaran di masa mendatang. Pendekatan ini berakibat sampingan secara drastis merubah karakter fisik kota yang pada akhirnya menghasilkan karakter fungsi dan perilaku yang sama sekali tidak terprediksikan dalam perencanaan. Secara sekilas hal ini dipahami sebagai solusi kemacetan dan terbatasnya lahan parkir, tetapi aturan tersebut telah mengakibatkan hilangnya karakter istimewa jalan ini dan punahnya bangunan-bangunan tua indah yang telah berumur lebih dari 50 tahun.
Rasanya terlalu jauh untuk memikirkan tindakan konkrit apa saja yang bisa dilakukan segera dalam menyelesaikan benang kusut Kota Bogor ini. Terlebih karena akumulasi permasalahan dan isu terus menerus terjadi, dan terutama karena paradigma pemerintahan yang berlaku saat ini belum juga berubah. Pendekatan-pendekatan penyelesaian masalah dengan bentuk “proyek” yang ad hoc, kasuistik, bersifat simbolik, dan rawan korupsi sudah sepantasnya dibuang jauh-jauh dan digantikan pendekatan yang lebih berpihak pada publik, transparan, realistik, serta terencana baik dan profesional. Semua ini karena masalah tidak berhenti pada fase kita telah dapat menegakkan hukum dan aturan bermain di pembangunan kota dengan benar, tetapi juga bagaimana kita berkesadaran untuk memproyeksikan dan merencanakan masa depan kota.

Kesimpulan
Secara fisik kota Bogor memang memiliki banyak peninggalan sejarah yang memberi kontribusi pada identitas kota. Walaupun demikian, karena fenomena extending metropolitan yang terjadi saat ini, karakter kota Bogor yang bersejarah tersebut sekarang mulai terdesak dampak pembangunan regional. Bogor sekarang merupakan kota yang merepresentasikan perpaduan kultur tradisional Sunda, budaya kolonial, dan modernitas kota metropolitan. 
Tarik menarik antara kekuatan lokal dan regional sedang berlangsung di kota ini. Akibatnya saat ini terdapat 3 tipe kawasan yang membentuk karakter kota Bogor yaitu kawasan historis kolonial (kekuatan lokal), kawasan pembangunan ekonomi internal (campuran kekuatan lokal & regional), dan kawasan permukiman yang terkait dengan pembangunan berpola komuter (kekuatan regional). Sayangnya ketiga karakter pembangunan kota ini belum bisa bersinergi untuk menjadikan Bogor sebagai kota yang beridentitas kuat. Identitas perkotaan (urban identitiy) dapat diungkap melalui faktor-faktor penyebab keterikatan emosional (place attachment) penduduk kota tersebut. Walaupun saat ini kawasan historis kolonial merupakan kawasan yang paling tidak berkembang di Bogor, kawasan dengan konsep garden city ini memiliki kontribusi yang paling kuat pada tingkat place attachment penduduk Bogor. 
Pemukiman di kota Bogor sejatinya mulai terbentuk secara modern sejak masuknya Belanda ke Indonesia. Sejak pemeritahan Belanda mulai mendirikan pemerintahannya di wilayah Bogor Pemukiman di daerah ini berkembang pesat. Terlebih karena keadaan alamnya yang mendukung untuk hidup secara nyaman untuk bangsawan Eropa pada saat itu.
Bogor sejatinya merupakan kota pendukung untuk kota Jakarta yang mengalami permasalahan kekurangan lahan untuk pemukiman, sehingga kota Bogor sebagai daerah penunjang untuk pemukiman para pekerja yang bekerja di Jakarta.

Perkembangan perumahan di kota Bogor semakin berkembang ketika mulai masuknya pengembang perumahan milik pemerintah pada tahun 1990-an sampai akhirnya banyak pengembang yang memulai pembangunan di kota Bogor sampai pada tahuun 2010-an.
Permasalahan kota Bogor pada saat ini ialah terbatasnya lahan secara horizontal yang pada awalnya di harapkan untuk pembangunan kota ini. Sehingga pada akhir 2015 ini pengembang mulai untuk memikirkan pembangunan secara vertikal di kota Bogor. Bogor sebenarnya kota pemukiman yang di kelilingi oleh kemudahan transportasi untuk mencapai kota Jakarta. Sehingga untuk urusan transportasi di kota ini sangat mudah untuk menuju titik manapun di kota ini.

Saran
Perkembangan perumahan di kota bogor yang sangat pesat ini seharusnya memperhatikan perencaan lahan yang baik agar kota Bogor tidak kekurangan lahan di masa mendatang. Dan padatnya pemukiman di beberapa wilayah dapat di atasi dengan baik. Bogor yang merupakan kota pemukiman dapat menjadi pemukiman yang nyaman dan sehat bagi para penduduk kota bogor.
Secara historis kota bogor yang juga merupakan pemukiman zaman Belanda harusnya dapat menjadi pembelajaran bagi para perencana pembangun perumahan, karena pemukiman bekas zaman belanda memiliki perencanaan yang baik dalam hal kenyamanan dan fasilitas yang baik bagi pengguna perumahan.

Referensi:
Batarfie, Farida. Sebuah Pengamatan Mengenai Rumah Peribadatan Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Bogor Tengah, Kotamadya Bogor: Vihara Dhanagun. Skripsi. Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1986.
Danasasmita, Saleh. Sejarah Bogor. Bogor: Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor, 1983.
History of Railroads in Indonesia – PERUMKA, [http://www.cybernet.or.id/kereta/main.html]
Kambali, Urip Herdiman. Status dan Kondisi Tanah Partikelir Buitenzorg: Lahir dan Perkembangannya sampai Tahun 1829. Skripsi. Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990.
Muhsin, Mumuh. “Bogor”, in Nina H. Lubis, et.al. Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqaprint, 2000.
Pranayama, Anton. Peranan Hok Tek Bio di Kawasan Gerbang Suryakencana pada Periode 1901-2005. Skripsi. Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1999.
Wiryomartono, A. Bagoes P. Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia, Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Buddha, Islam hingga Sekarang. Jakarta: Gramedia, 1995.
Tinjauan Arsitektur Sejarah Kota Bogor. Seminar Morfologi Kota, Seminar Arsitektur, 1985/86, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Tjahjono, Gunawan (ed.). Indonesian Heritage: Architecture. Singapore: Archipelago Press, 1999.
https://teguhmanurung.wordpress.com/tag/sunda/
https://handelstraat.wordpress.com/2008/11/24/arsitektur-kota-bogor-dulu-dan-sekarang-setiadi-sopandi/
http://repository.gunadarma.ac.id/576/1/Kota%20Bogor%20dalam%20Tarik%20Menarik%20Kekuatan%20Lokal%20dan%20Regional_UG.pdf

Artikel Terkait