Tinjauan Pustaka | Studi Kasus | Identifikasi | Karya | Referensi | Arsitektur dan Lainnya
Monday, December 12, 2016
Browse » Home »
Pemukiman
,
Perumahan
,
Studi Kasus
» PERKEMBANGAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN DI KOTA BOGOR
PERKEMBANGAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN DI KOTA BOGOR
Kota
bukanlah lingkungan buatan manusia yang dibangun dalam waktu singkat tetapi
merupakan lingkungan yang dibentuk dalam waktu yang relatif panjang. Kondisi
wilayah perkotaan sekarang ini merupakan akumulasi dan setiap tahap
perkembangan yang terjadi sebelumnya dan dipengaruhi oleh berbagai macam
faktor. Dapat pula dikatakan bahwa kota merupakan sebuah artefak urban yang
kolektif dan pada proses pembentukannya mengakar dalam budaya masyarakat
setempat (Rapoport, 1977).
Kostof
(1991) menjelaskan kota sebagai leburan dari bangunan dan penduduk. Bentuk kota
pada awalnya adalah netral tetapi kemudian berubah sampai dipengaruhi dengan
budaya tertentu. Produk morfologi kota merupakan hasil evolusi sejarah
kehidupan yang ditentukan oleh dua keputusan. Yang pertama oleh perencana dan
yang kedua oleh proses perkembangan kota (urban process). Keputusan perencana
dapat dilakukan melalui suatu kelembagaan baik secara otoriter maupun
demokrasi. Sedang perkembangan kota ditentukan oleh proses keputusan semua
aktor pembangunan kota yang beragam dan terus berlangsung sebagai suatu “pasage
of time and daily life”, yang dapat berada di luar skenario keputusan atau
perencanaan formal (Kostof, dalam Soetomo, 2009).
Kota
adalah sebuah tempat di mana orang-orang di dalamnya mengidentifikasi diri
mereka dengan lokasinya. Sebuah kota merupakan kumpulan tempat yang mempunyai
berbagai penanda dan kenangan masingmasing. Saat manusia belajar, dia akan
mencerna penanda dari lingkungannya dan mengingatnya terus menerus. Hal ini
dapat menjelaskan mengapa manusia dapat mempunyai keterikatan yang erat dengan
daerah asalnya, karena telah belajar untuk mengingat dalam rentang waktu yang
cukup lama. Kota menjadi kumpulan memori karena merupakan wadah dari fungsi
hidup manusia yang merekam siklus dan daur hidup manusia (Carmona, 2003).
Kota-kota
di Jawa berkembang dengan sangat pesat terutama setelah awal abad ke 20. Hal
ini disebabkan karena perkembangan penduduk yang sangat cepat akibat besarnya
urbanisasi yang terjadi pada kota-kota di Jawa dari tahun ke tahun. Pusat kota
pada kota-kota di Jawa terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Keadaan
sosial, budaya, politik, serta sejarah masa lalu sebuah kota sangat berpengaruh
pada kawasan-kawasan di perkotaan.
Setelah tahun 1980-an terjadi gejala pemekaran yang tidak terkontrol
pada kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Malang, dan
lain-lain, yang disinyalir oleh McGee (1991) sebagai akibat dari terjadinya
proses pergeseran fungsi pusat kota dari pusat pemerintahan menjadi pusat
kegiatan jasa dan keuangan. Secara fisik restrukturisasi ini ditandai dengan
perubahan penggunaan lahan secara besar-besaran, karena munculnya lokasi-lokasi
industri di tepi kota yang kemudian disusul dengan munculnya daerah perumahan
baru. Terjadilah istilah mega urban pada kota-kota seperti Jakarta (Jabotabek),
Surabaya (Gerbangkertasusila), dan Semarang (Kedungsepur).
Susunan
kota-kota tradisional dipengaruhi oleh beberapa faktor yang membatasi pola
susunannya, yaitu keamanan dan persatuan, keterbatasan bahan dan teknologi,
keterbatasan mobilitas, struktur sosial yang kaku, serta perkembangan yang agak
lambat. Faktor-faktor ini sangat menentukan penataan kota-kota lama. Susunan
kota yang dianggap modern tidak lagi dipengaruhi oleh batasan tertentu seperti
pada kota tradisional. Hal itu disebabkan oleh ketidakterbatasan komunikasi dan
pengaruh pada masyarakat secara individual mengenai ide-ide baru,
ketidakterbatasan teknologi, serta ketidakterbatasan mobilitas yang mengarah
pada perluasan dan kepadatan kawasan kota (Zahnd, 1999).
Banyak
kota-kota di Indonesia yang telah memiliki identitas kota yang kuat sebagai
akibat dari proses perkembangan kota tersebut. Kota-kota besar di Indonesia
secara umum mengalami alur sejarah perkembangan yang hampir sama. Berawal dari
kota tradisional (kerajaan), berkembang pada masa kolonial, dan setelah masa
kemerdekaan menghadapi era modernisasi dan globalisasi. Permasalahan yang
dihadapi saat ini adalah perkembangan kota-kota di Indonesia menjadi kota metropolitan
yang pengaruhnya berdampak luas kota-kota satelit di sekitarnya. Perkembangan
kota Bogor ini merupakan suatu hal yang perlu dicermati terutama berkaitan
dengan perkembangan identitas kota pada kota-kota regional (regional city) di
Indonesia pada masa yang akan datang.
Permukiman
menurut Undang-Undang No.4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman adalah,
bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik dalam lingkup
perkotaan maupun pedesaan, dan juga memiliki fungsi sebagai lingkungan tempat
hunian serta tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan..
Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1992, pasal 1 (satu) angka 4(empat) :
disebutkan pula bahwa, satuan lingkungan permukiman merupakan kawasan perumahan
dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang tertentu, yang dilengkapi sistem
prasarana dan sarana lingkungan, dan tempat kerja terbatas dan dengan penataan
ruang terencana dan teratur sehingga memungkinkan pelayanan dan pengelolaan
yang optimal. Dengan demikian dapat dipahami bahwa permukiman terdiri dari
komponen: perumahan, jumlah penduduk, tempat kerja, sarana dan prasarana.
Antara
kota dan pemukiman penduduk merupakan hal yang tidak dapat di pisahkan. Kota
merupakan pusat dimana manusia modern hidup, bekerja, berkehidupan sosial dan
bertempat tinggal. Perkembangan kota akan sebanding dengan perkembangan
pemukimannya. Dimana dengan semakin tingginya pertumbuhan kota akan semakin
banyak arus urban yang akan mendiami kota maju tersebut.
Perkembangan Kota
Kota-kota
pedalaman di Indonesia telah memancarkan pesona masing-masing sejak dulu kala,
ketika bangsa Eropa sedang giat-giatnya menjelajah bumi Nusantara dan menikmati
hasil alamnya. Jika kita sejenak meluangkan waktu untuk mempelajari bagaimana
mereka menghargai keindahan dan kenyamanan lingkungan hidup di kawasan sejuk
pedalaman, kita bisa menengok (misalnya) Bandung dan Malang sebagai dua kota
yang terkenal kaya akan asset arsitektur dan perkotaan kolonial. Berbekal
otoritas mereka sebagai kelas puncak dalam sistem ‘kasta’ kolonial di Hindia
Belanda, masyarakat Eropa berusaha menikmati iklim sejuk dan suasana alam di
pedalaman dengan menghuni rumah-rumah lapang lega yang dirancang dengan baik,
yang didirikan di atas bidang tanah yang berpenghijauan baik pula. Karena tidak
berkesempatan untuk memiliki kemewahan serupa di negeri asal mereka, masyarakat
expatriat Eropa benar-benar tahu cara memanjakan diri mereka di kota-kota
pedalaman ini.
Berkembang
pesat seiring dengan ekspansi kolonial pada akhir abad ke-19 (pasca VOC), kota-kota
pedalaman berkembang dari nukleus-nukleus permukiman yang dihubungkan oleh
Groote Postweg (Jalan Raya Pos, dibangun mulai 1811 oleh Daendels) dan maraknya
perdagangan, industri, dan distribusi barang. Bermuara di kota-kota pesisir (di
Jawa, misalnya Semarang, Surabaya, dan Batavia), jaringan perdagangan berhulu
di pertanian, perkebunan, dan hutan yang dihubungkan oleh kota-kota pedalaman
ini. Selain itu, karena letaknya strategis, kota-kota pedalaman ini juga sering
berfungsi sebagai pusat pos-pos militer Belanda (misalnya Magelang), sebagai
benteng bagi pusat-pusat kekuasaan dan ekonomi yang berada di kota-kota
pesisir.
Peranan
kota-kota pedalaman juga dipacu dengan terhubungkannya mereka dengan jalur
kereta api. Jalur kereta api pertama di Indonesia (Hindia Belanda) dibuka pada
tanggal 10 Agustus 1867. Jalur tersebut merupakan jalur perdana Nederlandsch
Indische Spoorweg Maatschappij (Maskapai Kereta Api Hindia Belanda, NIS) yang
menghubungkan Semarang dengan Yogyakarta dan Surakarta untuk mendukung distribusi
hasil bumi (khususnya tebu). Selanjutnya NIS membuka jalur Batavia – Buitenzorg
pada tahun 1873.
Perencanaan Kota Modern Awal Abad Ke-20
Menyusul
Politik Etis yang dicanangkan Ratu Wilhelmina pada 1901 mendorong
diberlakukannya sistem desentralisasi di Hindia Belanda. Hal ini membuka
peluang bagi daerah-daerah jajahan untuk menata dirinya sendiri, khususnya
dalam menanggulangi permasalahan perkotaan seperti terpuruknya kebersihan dan
kesehatan yang disebabkan oleh kepadatan penduduk dan ketidakteraturan.
Sistem
sentralisasi yang dijalankan oleh penguasa pusat di Buitenzorg tidak mampu
menangani masalah-masalah yang detail tetapi penting seperti itu, sehingga
sebagai jalan keluar diterbitkanlah Undang-Undang Desentralisasi 1903.
Konkretnya dibentuklah kotamadya-kotamadya (stadsgemeenten) dan
kabupaten-kabupaten (gewesten) pada kurun waktu 1903-1940. Batavia merupakan
stadsgemeenten pertama yang didirikan pada 1905 dengan langsung disusul
kota-kota lain. Pada tahun 1918 telah ada 18 kotamadya dan 70 kabupaten di
Hindia Belanda. Dewan kota (gementee) bertugas diantara lain dalam hal
permukiman dan perumahan, pembangunan jalan dan saluran air, pengawasan
bangunan (mencakup dari rumah tinggal, hingga pasar dan rumah pemotongan
hewan). Untuk itu, timbul pula inisiatif untuk membuat perangkat hukum dan
panduan yang mendukung. Percobaan juga dilakukan di Batavia (1 April 1905),
Bandung (1906), Surabaya (1906), dan Semarang (1907).
Orang
yang paling menonjol kontribusinya dalam pembentukan rancangan kota-kota di
Hindia Belanda pada masa ini adalah Ir. Thomas Karsten (1884-1945). Karsten
dengan semangat modernitas dan sosialnya ditugaskan untuk membuat paket-paket
rancangan untuk kota-kota, mulai dari rencana keseluruhan (misalnya peruntukan
lahan) hingga detil (seperti tipologi jalan dan penghijauan, sanitasi publik)
dan peraturan bangunan (misalnya garis sempadan bangunan dan pengelompokan tipe
hunian). Di Jawa, kontribusi Karsten meliputi Semarang (1916-1920), Bandung,
Batavia/ Jakarta, Magelang, Malang (1933), Buitenzorg/ Bogor (1920), Madiun,
Cheribon/ Cirebon, Meester Cornelis/ Karawang, Yogyakarta, Surakarta, dan
Purwokerto. Karsten menentang perencanaan kota “tradisional” yang memilah-milah
hunian kota berdasarkan ras/ etnis dan mengusulkan pembagian menurut tingkatan
ekonomi lebih masuk akal sebagai dasar perencanaan kota modern. Idenya didukung
dengan usulan tipe-tipe permukiman dan hunian yang sesuai dengan status ekonomi
penghuninya.
Bentuk Awal dan Perkembangan Kota Bogor
Buitenzorg
Kota
Bogor dahulu bernama Pakuan, merupakan ibu kota pemerintahan Kerajaan
Pajajaran. Daerah ini menjadi pusat pemerintahan Prabu Siliwangi yang
dinobatkan pada 3 Juni 1482. Hari penobatannya ini diresmikan sebagai hari jadi
kota Bogor dan diperingati setiap tahunnya hingga saat ini. Selain itu, senjata
khas kerajaan Pajajaran yaitu Kujang dijadikan lambang kota Bogor dan dijadikan
Landmark kota dalam bentuk Monumen Kujang.
Meskipun
secara umum dan politis diakui bahwa cikal bakal Kota Bogor adalah Ibukota
Kerajaan Hindu Pajajaran (Pakuan), Bogor sebagai kota modern sebenarnya baru
lahir pada kurun waktu 1745-1845. Proses terbentuknya Bogor diawali dengan
dibangunnya Vila Buitenzorg (1745, sekarang Istana Bogor). Vila tersebut
dibangun atas prakarsa Gubernur-Jenderal G.W. Baron van Imhoff (1743-50) untuk
berfungsi sesuai namanya, “buitenzorg” (Belanda), yang berarti “free from care”
(Inggris) atau “sans souci” (Perancis), sebagai tempat beristirahat dari segala
kesibukan (di Batavia) dan juga sebagai pos kunjungan ke daerah Priangan.
Pada
waktu itu, Bogor belum merupakan permukiman yang terorganisir mandiri dan lebih
merupakan tanah luas yang dimanfaatkan sebagai kawasan pendukung Batavia. Pada
1687, Letnan Tanoe-Djiwa (seorang letnan bagi masyarakat pribumi, Lieutenant
der Javanen) diperintahkan oleh Gubernur-Jenderal Johannes Camphuijs
(1684-1691) untuk membuka Hutan Pajajaran sebagai lahan pertanian yang pada
akhirnya dinamakan ‘Kampoeng Baroe’. Kawasan ini mencakup kampung-kampung:
Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranang Siang,
Parung Banteng, dan Cimahpar, dengan Kampung Baru sebagai pusatnya. Akhirnya
pada 1745, sembilan kampung (Tjisaroea, Pondok Gede, Tjiawi, Tjiomas,
Tjitdjeroek, Sindang Barang, Balaoboer, Darmaga, dan Kampoeng Baroe) disatukan
dalam satu pemerintahan di bawah kekuasaan seorang demang dengan nama
“Regentschap Kampoeng Baroe” (kemudian dinamakan “Regentschap Buitenzorg”).
Pembentukan
karakter tata ruang Bogor banyak dipengaruhi oleh praktik penjualan tanah pada
jaman van Imhoff ini. Van Imhoff sendiri membeli sebidang tanah Kampung Baru
tersebut dan menamakannya Buitenzorg. Pada kelanjutannya, sebidang tanah dan
bangunan yang sekarang disebut Istana Bogor ini secara status dimiliki oleh
Gubernur Jenderal selama masa jabatannya (ex officio). Sedangkan tanah-tanah
disekitarnya, pada jaman Daendels (1811-1816), dijadikan tanah-tanah partikelir
yang diperjualbelikan maupun disewakan sehingga hampir seluruh tanah di kawasan
ini dimiliki secara swasta. Tanah-tanah ini diatur oleh demang/ mandur
(overseers) yang ditunjuk oleh pemiliknya dengan tetap diawasi oleh pemerintah.
Sistem partikelir ini didukung oleh tidak adanya kekuasan priyayi lokal maupun
struktur kekuasaan pribumi yang kuat seperti yang terdapat di daerah lain. Pada
fase embrio ini, Bogor dibentuk seakan-akan sebagai pulau-pulau kecil yang
digabungkan oleh sebuah pusat, yakni Vila Buitenzorg. Dengan penataan aksis dan
lingkungan pendukungnya (dibangun pada 1799), Vila Buitenzorg timbul sebagai
monumen yang tidak tersaingi pada radius yang cukup luas di daerah Priangan
pada masa ini.
Bentuk
vila ini sendiri telah berubah beberapa kali sesuai dengan suksesi kepemimpinan
gubernur-jenderal. Jacob Mossel membangun kembali vila ini sebagai sebuah
istana pada kurun 1759-1761. Van Alting (1780) memutuskan untuk menjadikan
istana ini sebagai kantor resmi Gubernur-Jenderal VOC. Tempat ini menjadi lebih
penting setelah Algemeene Secretarie (Sekretaris Jenderal) ditempatkan di situ
(1888), hingga pada akhirnya dijadikan Istana Kepresidenan RI setelah Indonesia
merdeka. Kebun Raya Bogor sendiri pada awalnya berfungsi sebagai “backyard”
dari Istana Bogor, sebelum pada akhirnya diresmukan sebagai Kebun Raya Bogor
(“Hortus Botanicus Bogoriensis”) pada 1887 oleh Prof. Dr. C.G.C. Reinwardt, seorang
botanis Jerman.
Zone Etnis dan Struktur Kota
Seperti
halnya kebanyakan kota-kota kolonial, pusat Kota Bogor merupakan konsentrasi
dari 3 (tiga) nukleus etnis; Eropa, Cina, dan Pribumi. Zona permukiman
masyarakat Eropa ditandai dengan berbagai gedung-gedung pemerintahan dan
fasilitasnya (sebagai civic center), permukiman-permukiman yang didominasi
rumah-rumah vila, dan berbagai fasilitas umum dan bangunan-bangunan komersial
(kantor-kantor, rumah sakit, sekolah, dan lain-lain). Meskipun memiliki jumlah
penduduk yang sangat kecil, zone Eropa menempati porsi lahan terbesar. Zone
permukiman Eropa di Bogor dapat kita tandai mulai di sekeliling Kebun Raya
Bogor, gedung-gedung institusi di sepanjang Jalan Ir. Juanda, Jalan A. Yani
(untuk fungsi-fungsi perkantoran dan pemerintahan), hingga daerah Ciwaringin
(ke arah Utara) dan daerah Taman Kencana (Timur) (untuk fungsi hunian).
Bangunan-bangunan
yang menampung fungsi-fungsi penting (Kota Bogor maupun Hindia Belanda)
bermunculan. Selain Istana Bogor yang ditempati oleh Gubernur Jenderal dan
Sekretaris Jenderal, fungsi-fungsi birokrasi lain ditempatkan disekelilingnya.
Juga halnya dengan fasilitas lain seperti Gereja Katedral, sekolah-sekolah,
kantor Residen, dan hotel-hotel (misalnya Hotel Binnenhof; sekarang Hotel
Salak). Hotel Belle Vue, yang terletak menghadap Gunung Salak (sekarang Bioskop
Ramayana), merupakan hotel yang sangat terkemuka saat itu. Dikembangkannya
Bogor (dan Kebun Raya-nya) sebagai pusat penelitian tanaman menjadikan Bogor
subur akan lembaga-lembaga penelitian pertanian dan perhutanan sehingga Bogor
juga menyimpan sejumlah koleksi bangunan perkantoran modern awal abad ke-20
yang masih terpelihara cukup baik.
Permukiman
Eropa di bagian Utara tersebar dan terkelompok berdasarkan tingkatan
ekonominya. Rumah-rumah Belanda bertipe besar dan luas untuk kaum elit banyak
terdapat di tepi jalan-jalan utama, sedangkan rumah-rumah yang lebih kecil
untuk tingkatan karyawan/ pengusaha biasa tersebar di jalan-jalan sekunder.
Meskipun banyak dari fisik rumah-rumah tersebut bertahan baik hingga kini,
setelah 1942, kepemilikan mereka serentak berpindah dari tangan orang-orang
Eropa ke orang-orang Indonesia (Pribumi maupun Tionghoa).
Masyarakat
Tionghoa telah mengadakan hubungan intensif dengan kerajaan-kerajaan pedalaman
Priangan sebelum Belanda berekspansi. Peninggalan sebuah altar pemujaan
(shrine) yang bertahun 1678 yang terletak di delta Sungai Ciliwung (Pulo Pasar/
Pulau Parakan Baranangsiang/ Pulo Geulis terletak di sebelah timur dari pecinan
yang sekarang) membuktikan bahwa masyarakat Tionghoa telah menetap di sana.
Peran masyarakat Tionghoa dalam pembentukan sebuah kota di Jawa (maupun Asia
Tenggara pada umumnya) sebenarnya sangat penting, terutama karena mereka
memainkan peranan sebagai perantara (distributor) dalam sistem perdagangan
maupun sosial dalam struktur masyarakat kolonial (terutama pada abad ke-19).
Selain itu, sistem struktur perkotaan yang mereka kembangkan dalam lingkungan
mereka sendiri telah begitu modern dengan (tentunya) tidak lepas dari hegemoni
struktural yang diterapkan pemerintahan kolonial.
Pecinan
Bogor terletak di penggal jalan Suryakencana yang merupakan penggal Jalan Raya
Pos yang berada di selatan Istana Bogor. Diawali oleh Klenteng Hok Tek Bio
(berdiri 1867) dan Pasar Bogor (berdiri 1872), pecinan yang dipenuhi rapat oleh
ruko-ruko (rumah-toko) memanjang ke arah Gunung Gede/ Pangrango sepanjang
kira-kira 1,5 kilometer. Dengan diapit oleh dua sungai (Ciliwung di timur, dan
Cipakancilan di barat), struktur pecinan Bogor dibentuk oleh 3 jalan utama yang
paralel, dengan jalan Suryakencana sebagai jalan utamanya. Dahulu jalan ini
bernama Handelstraat atau Jalan Perniagaan yang menandakan fungsinya sebagai
sentra ekonomi kota. Masyarakat Tionghoa yang juga terkotak-kotak dalam kelas
sosial, menempati hunian sesuai dengan kelas mereka. Golongan pedagang
berkumpul di sekitar Pasar Bogor, sedangkan golongan bawah (kebanyakan
Peranakan) menghuni ruko-ruko sewa dan rumah-rumah petak di balik ruko-ruko.
Golongan atas/ elit (biasanya Peranakan dengan pendidikan Belanda, opsir
Belanda, profesional) cenderung tidak berdagang, dan menghuni bagian selatan
pecinan. Rumah mereka biasanya sedikit banyak mencirikan gaya hidup mereka yang
“kebarat-baratan”: menggunakan corak-corak yang biasa ada di bangunan-bangunan
Belanda, ataupun menghuni rumah “tipe vila”.
Berkembang
akibat pertumbuhan ekonomi, pecinan mengalami banyak transformasi bentuk. Mulai
dari perubahan fisik bangunan-bangunannya, hingga pemadatan hunian di
kantong-kantong di balik ruko-ruko. Terlebih setelah dihapuskannya
wijkenstelsel (peraturan zone etnis) pada 1915, pembauran permukiman Tionghoa
dan Pribumi semakin pesat di kawasan-kawasan kantong ini. Karakter fisik
pecinan Bogor sendiri memudar seiring dengan diberlakukannya diskriminasi oleh
Pemerintah Orde Baru, yang secara umum juga dialami berbagai pecinan lain di
Indonesia). Peran institusi-institusi sosial budaya masyarakat Tionghoa memudar
juga; seperti fisik Hok Tek Bio yang semakin tenggelam dengan keramaian dan
penataan lingkungan pasar, begitu pula dengan dihapuskannya sekolah-sekolah
Tionghoa, digantikan dengan toko-toko yang lebih meriah dan beragam.
Masyarakat
Pribumi sebenarnya tidak memiliki konsentrasi area khusus seperti halnya
masyarakat Eropa dan Cina. Tetapi karena absennya kekuasaan lokal di kawasan
partikelir ini, meleluasakan pemerintah kolonial untuk mengembangkan daerah ini
sesuai dengan keinginannya. Demang Wiranata (1749-1758 ) mengajukan permohonan
pada Gubernur Jenderal untuk membuka lahan di Sukahati (Empang, dahulu masih
dalam pekarangan Istana Bogor). Dengan terletak rendah membelakangi Sungai
Cisadane, daerah ini ditandai dengan alun-alun Empang yang pola penataannya mengikuti
model alun-alun pada umumnya (dikelilingi Istana Residen dan Masjid, dan
ditanami dengan 5 pohon beringin), namun dengan aksis mengarah ke Istana Bogor.
Kawasan ini kemudian berkembang sebagai konsentrasi permukiman Pribumi dan Arab
(permukiman Arab ditandai dengan masjidnya sendiri). Kawasan ini juga tumbuh
sebagai kawasan komersial dan perdagangan meski secara skala masih di bawah
Jalan Suryakencana.
Bogor Sebagai Sub Sistem Pembangunan
Jabodetabek
Setelah
Indonesia merdeka, seiring peresmian nama Bogor sebagai nama resmi wilayah yang
dulu disebut Buitenzorg, kota ini pun lambat laun kehilangan kedudukan
sentralnya seperti pada masa kolonial. Sejak tahun 1950 Kota Bogor, bersama
Tangerang dan Bekasi, menjadi kota yang direkomendasikan oleh Tim Jabotabek
untuk dimasukkan ke dalam wilayah kota metropolitan Jakarta. Kota Bogor
diproyeksikan menjadi kota satelit bagi Jakarta. Namun realisasi dari program
itu baru terlaksana pada tahun 1970-an melalui pelaksanaan proyek jalan tol
pertama di Indonesia yang dikenal dengan nama Jagorawi. Proyek ini dimulai dari
tahun 1973 dan baru rampung serta diresmikan penggunaannya pada tahun
1978.
Pada
tahun 1976 dikeluarkan Instruksi Presiden no. 13 tahun 1976 tentang Jabotabek
(Jakarta-BogorTangerang-Bekasi) di mana wilayah Kota Bogor ditetapkan sebagai
salah satu kota penyangga ibukota dan sebagai kota permukiman (dormitory town).
Beberapa pokok Kebijaksanaan Pengembangan Wilayah Jabotabek adalah sebagai
berikut:
- Meringankan tekanan penduduk di wilayah DKI Jakarta, sehingga kehidupan sosial ekonomi dan budaya dapat berlangsung serasi.
- Mengusahakan agar kegiatan industri dan perdagangan yang terdapat di wilayah DKI. Jakarta dapat lebih mendorong kegiatan-kegiatan yang berkaitan di daerah lain, terutama di daerah yang berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta.
- Menyerasikan perkembangan pada daerah-daerah perbatasan antara wilayah DKI. Jakarta dengan wilayah Botabek (Bogor-Tangerang-Bekasi).
- Mengembangkan pusat-pusat permukiman di wilayah Botabek dengan bentuk-bentuk permukiman baru.
Struktur wilayah
metropolitan Jabodetabek, dapat
dilihat dengan adanya jumlah migrasi yang keluar dan masuk
DKI Jakarta dan kota sekitarnya. Jumlah ini menunjukkan suatu keterkaitan
karena adanya pergerakan yang dapat disebabkan oleh kegiatan ekonomi (tempat
bekerja), perumahan (tempat tinggal), dan lainnya. Keterkaitan ini
juga didukung oleh adanya infrastruktur terutama transportasi dan
komunikasi yang mendorong aliran informasi antar daerah.
Antara
kota induk dengan kota-kota satelitnya dilengkapi dengan sarana transportasi
massal yang mampu memenuhi kebutuhan para komuter. Pola permukiman di kota-kota
pinggiran kemudian berkembang mengikuti letak prasarana transportasi
metropolitan yang menghubungkan kota
induk. Para pengembang berlomba-lomba membangun permukiman yang berlokasi dekat
akses ke jalan tol atau stasiun KRL. Fenomena commuter (penglaju) di Kota Bogor
terlihat dari tingginya jumlah perjalanan menuju Jakarta tiap harinya. Banyak
penduduk Bogor yang menghabiskan waktunya lebih banyak di Jakarta. Mereka
berangkat ke Jakarta untuk berkerja dari jam 6 pagi dan baru pulang ke rumahnya
di Bogor jam 8 malam. Menurut Bappeda Kota Bogor (RPJPD 2005-2025), pada tahun
2004 jumlah perjalanan dari Kota Bogor menuju Jakarta menggunakan kendaraan
pribadi adalah 53.188 perjalanan/hari dan yang menggunakan kendaraan umum
sebanyak 25.972 perjalanan/hari. Pergerakan ke Jakarta menggunakan moda Kereta
Api tahun 2004 menurut catatan Stasiun Bogor rata-rata sebanyak 28.572
perjalanan orang/hari.
Semakin
mudahnya akses dan singkatnya waktu tempuh Jakarta-Bogor menyebabkan Bogor
menjadi salah satu alternatif daerah tujuan untuk bermukim. Kota Bogor secara
riil berperan sebagai sub-urban dari Jakarta sehingga banyak menarik pendatang
untuk dipilih menjadi tempat tinggal di dalamnya (dormitory town). Kota Bogor
tumbuh sebagai kota berbasis pemukiman para pekerja yang mencari nafkah di
Jakarta. Hal ini secara nyata terlihat dengan menjamurnya perumahan sejak awal
tahun 1990-an. Data tahun 2007 menunjukkan bahwa terdapat 90 perumahan, baik
yang dikelola oleh pemerintah maupun pengembang swasta.
Bogor Masa Kini
Bogor
sejak pada masa Orde Baru diikutsertakan dalam perencanaan Jabotabek (Jakarta
Bogor Tangerang Bekasi) sebagai kawasan metropolitan terpadu. Dalam perannya,
Bogor diharapkan menjadi daerah penyangga Ibukota dalam hal permukiman penduduk
(yang diproyeksikan mencapai 4 juta jiwa pada 2005) dan sebagai daerah resapan
dan cadangan air.
Dalam
iklim ekonomi yang tumbuh pesat, Bogor sendiri bertumbuh. Perencanaan tata
ruang yang dimulai pada 1970-an memproyeksikan sebuah jalan lingkar luar di
sebelah timur Bogor yang juga dihubungkan dengan Jakarta lewat Jalan Tol
Jagorawi pada tahun 1980. Daerah di sekeliling lingkar luar tersebut
diperuntukkan bagi pengembangan pasokan perumahan baik kecil, menengah, maupun
atas yang menjamur pesat. Mulai dari Perumnas (Bantarjati dan Bantarkemang),
perumahan Bogor Baru, hingga perumahan elit Vila Duta. Memasuki dasawarsa 1990,
daerah utara Bogor (Cimanggu) dikembangkan juga sebagai daerah permukiman baru
yang memiliki akses ke Jakarta lewat Parung (jalan lama).
Potret Kehidupan Masyarakat Perumahan
Indraprasta II
Perumahan
Indraprasta II merupakan perluasan dari proyek Perumahan Nasional (Perumnas).
Dalam sejarah perumahan di Indonesia dikenal kebijakan perumahan yang merupakan
bagian dari Repelita I (1969-1974). Sebagai implikasinya kemudian dikeluarkan
Keputusan Presidien RI No.29/1974 tentang pembentukan Perusahaan Umum Perumahan
Nasional (Perum Perumnas) (Silas, 2005 :14). Perumnas di Kota Bogor pada
awalnya merupakan sebuah perumahan yang menempati areal yang sangat luas. Namun
seiring perkembangan zaman, kemudian areal ini dibagi-bagi ke dalam beberapa
unit komplek perumahan. Salah satunya yang terbesar adalah Perumahan
Indraprasta I yang mulai dibangun pada awal tahun 1990. Semakin membaiknya
sarana transportasi di wilayah tersebut, membuat pengembang kemudian membuat
kembali Perumahan Indraprasta II pada akhir tahun 1990-an dengan keunggulan
akses jalan yang langsung ke jalan tol. Kemudahan ini kemudian membuat
perumahan ini laku, terutama dari kalangan para pekerja yang berkator di
Jakarta, namun lebih memilih bermukim di Kota Bogor. Dalam perkembangannya,
karena letaknya yang strategis di sekitar komplek Indraprasta II ini kemudian
bertebaran pula tempat-tempat usaha, seperti Factory Outlet (FO), bengkel, dan
yang paling banyak adalah usaha rumah makan.
Dalam
kehidupan masyarakatnya pun dapat dikatakan unik. Hal ini disebabkan oleh letak
wilayah Perumahan Indraprsta itu sendiri. Walaupun dalam kompleks perumahan itu
didominasi oleh masyarakat perkotaan, namun di sekitar tempat tersebut terdapat
pula masyarakat-masyarakat asli terutama yang berasal dari wilayah Cimahpar.
Relasi diantara para penduduk di kompleks ini dapat sangat mencerminkan
kehidupan masyarakat perkotaan yang lebih cenderung individualis, mengembangkan
hubungan yang bersifat formal, dan bersifat profesional. Namun bukan berarti
relasi diantara penghuni kompleks tersebut tidak berjalan . Hal ini terutama
ditujukkan dengan diadakannya acara arisan rutin kompleks setiap satu bulan
sekali yang pelaksanaannya dilakukan secara bergiliran. Selain itu, setiap hari
minggu pun diadakan kegiata olahraga bersama dari semua kalangan umur yang
secara tidak langsung berfungsi untuk menjalin dan membangun relasi yang baik
antara sesama warga komplek. Sedangkan intensitas hubungan antara warga komplek
dengan penduduk asli sekitar juga cukup baik. Hal ini, paling tidak ditujukkan
dengan dikaryakannya beberapa penduduk asli, baik sebagai asisten rumah tangga,
maupun sebagai tenaga keamanan di wilayah komplek.
Dari
data penggunaan lahan diketahui bahwa penggunaan lahan dominan adalah untuk
kegiatan perumahan dan permukiman yaitu sebesar 4.577 Ha (38,63% dari luas lahan
kota). Hal ini dikarenakan karena Kota Bogor secara riil berperan sebagai
sub-urban dari Jakarta sehingga banyak menarik pendatang untuk dipilih menjadi
tempat tinggal di dalamnya (dormitory town). Pengembangan perumahan di Kota
Bogor pada saat ini masih dengan menggunakan konsep landed house atau
berkembang secara horizontal, untuk mengantisipasi keterbatasan lahan di Kota
Bogor, terutama di kawasan pusat kota maka sudah sebaiknya untuk dimulai
pembangunan rumah dengan konsep vertikal untuk semua golongan, baik itu rumah
susun maupun apartemen.
Pada
umumnya pertumbuhan perumahan atau permukiman skala besar di Wilayah Bogor
terjadi secara spontan. Dalam hal ini pola pertumbuhan atau perkembangan tidak
mengikuti sistem kota-kota yang berjenjang. Akibatnya terjadi ketidakefektifan
dan kurang efisiennya pelayanan jaringan prasarana. Selain itu, dengan adanya
kota baru atau permukiman berskala besar beserta kegiatan ekonomi yang
mengikutinya mendorong perubahan ordo kota di beberapa kota kecil seperti Kota
Cikupa, Pasar Kemis dan lain sebagainya.
Perkembangan
permukiman skala besar ditandai oleh pesatnya permintaan akan lahan untuk
kegiatan usaha atau tempat hunian, khususnya kawasan perumahan sebagai akibat
perkembangan ekonomi yang cukup pesat di Kota Jakarta. Sehingga perkembangan
permukiman di wilayah sub-urban Jabotabek yang terjadi pada umumnya masih punya
ketergantungan yang sangat tinggi dengan Kota Jakarta. Pembangunan perumahan di
kota Bogor sejak ditetapkan sebagai hinterland Jakarta lebih didasarkan pada
kedekatan dan kemudahan akses transportasi bagi para commuter. Setelah adanya
jalan tol Jagorawi tahun 1970an perumahan awal (perumnas) berlokasi di daerah
Bantarjati dan sekitarnya. Perumahan ini
ditujukan bagi masyarakat berpengasilan menengah dan menengah ke bawah.
Penduduk perumahan ini 60% bekerja di dalam kota Bogor dan sisanya bekerja di
Jakarta. Penduduk yang bekerja di Jakarta banyak menggunakan akses jalan
kabupaten Bogor maupun terminal Baranangsiang.
Perumahan
yang lebih baru ada di kawasan Ciomas dan Cimanggu. Perumahan di kawasan ini
lebih ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan menengah dan menengah ke bawah.
Pemilihan lokasi perumahan didasarkan karena dekatnya dengan stasiun Bogor dan
kemudahan angkutan kota untuk mencapai stasiun tersebut. Sebagian besar
penduduk di kawasan ini (75%) bekerja di Jakarta dan menggunakan KRL sebagai
moda transportasinya. Kawasan perumahan lain yang juga relatif baru adalah di
kawasan Bogor bagian Timur sampai dengan Tajur seperti perumahan Villa Duta dan
Bogor Nirwana Residence (BNR). Pihak pengembang merencanakan perumahan ini
untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke atas. Penduduk perumahan ini
sebagian besar bekerja di Jakarta dan menggunakan kendaraan pribadi melalui
akses jalan tol Jagorawi. Karena daerah ini relatif belum padat, selain
perumahan juga di bangun tempat-tempat rekreasi seperti water boom “The
Junggle” yang cukup luas dan
lengkap.
Pola
penyebaran daerah terbangun masih berpusat di Pusat Kota Bogor, sedangkan
daerah pinggiran relatif lebih kecil dari penggunaan lahan terbangun, terutama
di Kecamatan Bogor Selatan, Bogor Barat, dan sebagian kecil di Tanah Sereal dan
Bogor Utara. Hal ini terjadi sebagai akibat dari terkonsentrasinya kegiatan
ekonomi di pusatpusat kota sehingga untuk meminimalisasi jarak banyak penduduk
Bogor yang juga tinggal di pusat kota, walaupun kondisi perumahannya sudah
tidak nyaman dan bersih. Untuk daerah pinggiran maka pola ruangnya adalah
bersifat memita (ribbon) terutama pada ruas-ruas jalan utama seperti Jalan
Pajajaran, Jalan Raya Tajur dan Jalan Raya Sholeh Iskandar. Hal ini
mengakibatkan bangkitan perjalanan di Kota Bogor berpusat pada ruas-ruas jalan
tersebut sehingga jalan-jalan tersebut yang seharusnya berfungsi arteri tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Banyaknya
penduduk dengan gaya hidup perkotaan yang pindah dari Jakarta ke Bogor
menyebabkan kebutuhan akan fasilitas perkotaan modern seperti shopping mall,
fast food restaurant, dan lain-lain. Kecepatan modernisasi kota menjadi lebih
cepat dan pengendalian pembangunan kawasan perdagangan menjadi sulit
dilaksanakan. Efek globalisasi yang terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta
ikut menyebar ke kota-kota pinggirannya. Terjadi proses universalisasi akibat
persebaran informasi, produk, dan lain-lain. Selain itu globalisasi juga dapat
dilihat sebagai de-teritorialisasi akibat adanya intesifikasi hubungan secara
menyeluruh antar kota-kota di dunia
sehingga apa yang terjadi di suatu tempat dapat mempengaruhi atau dipengaruhi
tempat lain.
Kawasan
sepanjang jalan Pajajaran merupakan pusat pertokoan dan perdagangan yang paling
tinggi intensitasnya. Pola pembangunan linear (ribbon Development) ini
memanjang sampai ke Tajur melewati Kebun Raya, tugu Kujang, dan terminal
Baranangsiang. Di kawasan ini juga berdiri beberapa bangunan pusat perbelanjaan
Wawancara
terhadap beberapa penglaju (comuter) yang berdomisili di Bogor dan bekerja atau
kuliah di Jakarta menunjukkan bahwa place attachment mereka terhadap kota Bogor
cukup tinggi. Hampir seluruh responden menyukai tinggal di Bogor dan tidak mau
bila rumah mereka diganti atau ditukar dengan rumah daerah lain misalnya
Bekasi. Padahal hanya setengah dari mereka yang asli orang Bogor, sisanya
merupakan pendatang.
Tumbuhnya
pendudukan dan permukiman ini tentunya membutuhkan sarana-sarana seperti
sekolah, pusat perbelanjaan, hiburan, dan juga prasarana jalan juga
transportasi yang memadai. Ketidaksiapan satu komponen esensial kota dapat
mengakibatkan kepincangan sistem kota dan berbagai dampak. Hal ini nampak dari
berbagai permasalah yang dihadapi warga Bogor khususnya, dan juga warga
Jabotabek pada aspek-aspek tertentu. Di satu sisi, Kota Bogor menghadapi
tantangan untuk dapat mempertahankan kualitas lingkungannya sedangkan di sisi
lain Kota Bogor juga terdesak oleh pertumbuhan kotanya sendiri dan juga
perkembangan Jabotabek yang sangat pesat.
Hal
ini nampak jelas pada suasana Bogor pasca 1990 yang penuh dengan kemacetan di
mana-mana. Media massa sejak itu mulai banyak menyoroti Bogor yang dikurung
kemacetan pada ruas-ruas jalan antar kotanya. Hal ini diwarnai oleh isu
“hangat” izin trayek angkutan umum yang kian membengkak melebihi kapasitas dan
permintaan sejak beberapa tahun lalu, yang juga diiringi meningkatnya pemakai
kendaraan bermotor di Bogor. Hal ini diperburuk dengan fungsi Bogor sebagai
kota permukiman yang dihuni masyarakat “komuter”, yang bekerja di Ibukota pada
siang hari dan kembali ke Bogor pada malam/ sore hari, yang menambah beban lalu
lintas pada jam-jam tertentu setiap harinya.
Fungsi
Bogor sebagai tempat beristirahat/ rekreasi bagi masyarakat Jakarta juga telah
nyata membebani fasilitas jalan dan kenyamanan lingkungan. Kesohoran kawasan
Puncak menarik penduduk Jabotabek untuk memiliki sebuah rumah wisata pribadi di
kawasan yang sejuk ini sehingga pada tahun 1990-an hal ini berkembang menjadi
permasalahan pelik yang telah menyebabkan fenomena “banjir kiriman” di Jakarta.
Pada akhir Minggu, tidak pelak spot-spot tertentu di Bogor yang terkenal akan
oleh-oleh dan makanan khas dipenuhi oleh mobil-mobil berpelat B yang secara
akumulatif mengakibatkan kemacetan di seluruh kota, belum lagi dengan adanya
acara-acara seperti resepsi di gedung-gedung pertemuan yang kekurangan tempat
parkir, yang seharusnya sudah mengantisipasi kapasitas tempat bagi pengunjung
dan kendaraannya sejak awal perencanaannya (atau dari proses pemberian
izinnya).
Urban
sprawling juga menjadi isu penting di sebuah kota yang senantiasa bertumbuh
ini. Tidak terkendalikannya pertumbuhan fisik ke arah pinggiran kota menyebabkan
hilangnya batas tegas antara kota dengan daerah pinggiran. Daerah yang dulu
merupakan suburban telah berubah menjadi urban, seiring dengan bertambah
luasnya Kotamadya Bogor (ke arah selatan, batas Kota Bogor bergeser dari daerah
Tajur ke Ciawi). Daerah pinggiran sekarang telah berubah menjadi daerah
perkotaan, sehingga banyak fungsi-fungsi (seperti pabrik) yang tadinya berada
di “luar” kota sekarang berada di “dalam” kota dengan berbagai dampaknya.
Pertumbuhan sarana dan prasarana bagi daerah yang melejit pesat ini nampaknya
juga tak kunjung seimbang.
Di
sisi pranata, hukum dan pengawasan yang berlaku tidak menjamin tertib dan
terencananya pertumbuhan. Akhir-akhir ini dipermasalahkan seputar isu tata guna
bangunan dan peruntukan lahan yang tidak lagi dipatuhi. Masalah menjamurnya
trend bisnis factory outlet dan cafe, seperti yang “diilhami dari Kota
Bandung”, nampak “tidak terkendalikan” dan bisa diramalkan hal ini akan terus
berlanjut. Ini disebabkan banyak hal yang saling tumpang tindih. Di satu sisi,
Kota Bogor sedang memicu tumbuhnya tempat-tempat komersial dan perkantoran
untuk mengimbangi pertumbuhannya sebagai pusat jasa dan distribusi bagi daerah
sekitarnya. Di sisi lain, sarana dan penataan fisik yang ada masih didominasi
penataan kota warisan 1920 dengan modifikasi tahun 1970-an yang belum
mengantisipasi pertumbuhan kota seperti sekarang ini. Akibatnya banyak
fungsi-fungsi hunian berubah menjadi tempat usaha, bisnis, dan perkantoran
meskipun hal tersebut telah melewati ketentuan yang berlaku. Ruko-ruko menjamur
tanpa menghiraukan konteks tempat di mana mereka berada karena yang menjadi
tujuan mereka berdiri adalah bahwa ruko-ruko tersebut dapat memberikan uang
sewa dan hasil penjualan setinggi-tingginya kepada pemiliknya. Persimpangan
jalan dan jalan-jalan utama nampak menjadi sasaran menjamurnya bisnis-bisnis
“spontan” ini. Dari segi perizinan, ruko-ruko tersebut nampaknya berperan
seperti “bunglon” karena fleksibilitas fungsi mereka, siap berubah setiap saat
menjadi apakah itu hunian, kantor, toko, ataupun tempat hiburan. Akhir-akhir
ini perihal peruntukan lahan dan tata guna bangunan ini mulai mencuat sehingga
media massa lokal juga telah menyoroti ketidaktegasan dalam penegakkan aturan
yang nampak gamblang di lapangan.
Kalaupun
ditegakkan dengan semestinya, aturan-aturan yang telah ditetapkan juga masih
bisa dipertanyakan kesahihannya dari segi visi dan konseptual. Contoh konkret
adalah masih digunakannya pendekatan pelebaran jalan sebagai solusi kemacetan
lalu lintas yang diramalkan sama sekali tidak memecahkan inti permasalahan.
Untuk mendukung proyek tersebut, misalnya di Jalan Suryakencana – jalan niaga
utama kota Bogor – menerapkan aturan garis sempadan bangunan 8 meter dari bahu
jalan untuk mengantisipasi pelebaran di masa mendatang. Pendekatan ini
berakibat sampingan secara drastis merubah karakter fisik kota yang pada
akhirnya menghasilkan karakter fungsi dan perilaku yang sama sekali tidak
terprediksikan dalam perencanaan. Secara sekilas hal ini dipahami sebagai
solusi kemacetan dan terbatasnya lahan parkir, tetapi aturan tersebut telah
mengakibatkan hilangnya karakter istimewa jalan ini dan punahnya
bangunan-bangunan tua indah yang telah berumur lebih dari 50 tahun.
Rasanya
terlalu jauh untuk memikirkan tindakan konkrit apa saja yang bisa dilakukan
segera dalam menyelesaikan benang kusut Kota Bogor ini. Terlebih karena
akumulasi permasalahan dan isu terus menerus terjadi, dan terutama karena
paradigma pemerintahan yang berlaku saat ini belum juga berubah.
Pendekatan-pendekatan penyelesaian masalah dengan bentuk “proyek” yang ad hoc,
kasuistik, bersifat simbolik, dan rawan korupsi sudah sepantasnya dibuang
jauh-jauh dan digantikan pendekatan yang lebih berpihak pada publik,
transparan, realistik, serta terencana baik dan profesional. Semua ini karena
masalah tidak berhenti pada fase kita telah dapat menegakkan hukum dan aturan
bermain di pembangunan kota dengan benar, tetapi juga bagaimana kita
berkesadaran untuk memproyeksikan dan merencanakan masa depan kota.
Kesimpulan
Secara
fisik kota Bogor memang memiliki banyak peninggalan sejarah yang memberi
kontribusi pada identitas kota. Walaupun demikian, karena fenomena extending
metropolitan yang terjadi saat ini, karakter kota Bogor yang bersejarah
tersebut sekarang mulai terdesak dampak pembangunan regional. Bogor sekarang
merupakan kota yang merepresentasikan perpaduan kultur tradisional Sunda,
budaya kolonial, dan modernitas kota metropolitan.
Tarik
menarik antara kekuatan lokal dan regional sedang berlangsung di kota ini.
Akibatnya saat ini terdapat 3 tipe kawasan yang membentuk karakter kota Bogor
yaitu kawasan historis kolonial (kekuatan lokal), kawasan pembangunan ekonomi
internal (campuran kekuatan lokal & regional), dan kawasan permukiman yang
terkait dengan pembangunan berpola komuter (kekuatan regional). Sayangnya
ketiga karakter pembangunan kota ini belum bisa bersinergi untuk menjadikan
Bogor sebagai kota yang beridentitas kuat. Identitas perkotaan (urban
identitiy) dapat diungkap melalui faktor-faktor penyebab keterikatan emosional
(place attachment) penduduk kota tersebut. Walaupun saat ini kawasan historis
kolonial merupakan kawasan yang paling tidak berkembang di Bogor, kawasan
dengan konsep garden city ini memiliki kontribusi yang paling kuat pada tingkat
place attachment penduduk Bogor.
Pemukiman
di kota Bogor sejatinya mulai terbentuk secara modern sejak masuknya Belanda ke
Indonesia. Sejak pemeritahan Belanda mulai mendirikan pemerintahannya di
wilayah Bogor Pemukiman di daerah ini berkembang pesat. Terlebih karena keadaan
alamnya yang mendukung untuk hidup secara nyaman untuk bangsawan Eropa pada
saat itu.
Bogor
sejatinya merupakan kota pendukung untuk kota Jakarta yang mengalami
permasalahan kekurangan lahan untuk pemukiman, sehingga kota Bogor sebagai
daerah penunjang untuk pemukiman para pekerja yang bekerja di Jakarta.
Perkembangan
perumahan di kota Bogor semakin berkembang ketika mulai masuknya pengembang
perumahan milik pemerintah pada tahun 1990-an sampai akhirnya banyak pengembang
yang memulai pembangunan di kota Bogor sampai pada tahuun 2010-an.
Permasalahan
kota Bogor pada saat ini ialah terbatasnya lahan secara horizontal yang pada
awalnya di harapkan untuk pembangunan kota ini. Sehingga pada akhir 2015 ini
pengembang mulai untuk memikirkan pembangunan secara vertikal di kota Bogor.
Bogor sebenarnya kota pemukiman yang di kelilingi oleh kemudahan transportasi
untuk mencapai kota Jakarta. Sehingga untuk urusan transportasi di kota ini
sangat mudah untuk menuju titik manapun di kota ini.
Saran
Perkembangan
perumahan di kota bogor yang sangat pesat ini seharusnya memperhatikan
perencaan lahan yang baik agar kota Bogor tidak kekurangan lahan di masa
mendatang. Dan padatnya pemukiman di beberapa wilayah dapat di atasi dengan
baik. Bogor yang merupakan kota pemukiman dapat menjadi pemukiman yang nyaman
dan sehat bagi para penduduk kota bogor.
Secara
historis kota bogor yang juga merupakan pemukiman zaman Belanda harusnya dapat
menjadi pembelajaran bagi para perencana pembangun perumahan, karena pemukiman
bekas zaman belanda memiliki perencanaan yang baik dalam hal kenyamanan dan
fasilitas yang baik bagi pengguna perumahan.
Referensi:
Batarfie, Farida. Sebuah Pengamatan
Mengenai Rumah Peribadatan Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Bogor Tengah,
Kotamadya Bogor: Vihara Dhanagun. Skripsi. Fakultas Sastra, Universitas
Indonesia, 1986.
Danasasmita, Saleh. Sejarah Bogor. Bogor:
Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor, 1983.
History of Railroads in Indonesia –
PERUMKA, [http://www.cybernet.or.id/kereta/main.html]
Kambali, Urip Herdiman. Status dan Kondisi
Tanah Partikelir Buitenzorg: Lahir dan Perkembangannya sampai Tahun 1829.
Skripsi. Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta,
1990.
Muhsin, Mumuh. “Bogor”, in Nina H. Lubis,
et.al. Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqaprint, 2000.
Pranayama, Anton. Peranan Hok Tek Bio di
Kawasan Gerbang Suryakencana pada Periode 1901-2005. Skripsi. Jurusan
Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1999.
Wiryomartono, A. Bagoes P. Seni Bangunan
dan Seni Binakota di Indonesia, Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen
Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Buddha, Islam hingga Sekarang. Jakarta:
Gramedia, 1995.
Tinjauan Arsitektur Sejarah Kota Bogor.
Seminar Morfologi Kota, Seminar Arsitektur, 1985/86, Universitas Katolik
Parahyangan, Bandung.
Tjahjono, Gunawan (ed.). Indonesian
Heritage: Architecture. Singapore: Archipelago Press, 1999.
https://teguhmanurung.wordpress.com/tag/sunda/
https://handelstraat.wordpress.com/2008/11/24/arsitektur-kota-bogor-dulu-dan-sekarang-setiadi-sopandi/
http://repository.gunadarma.ac.id/576/1/Kota%20Bogor%20dalam%20Tarik%20Menarik%20Kekuatan%20Lokal%20dan%20Regional_UG.pdf