Tinjauan Pustaka | Studi Kasus | Identifikasi | Karya | Referensi | Arsitektur dan Lainnya
Friday, November 25, 2016
Browse » Home »
Arsitektur
,
Arsitektur Gotik
,
Sejarah Arsitektur
,
Studi Literatur
» SEJARAH ARSITEKTUR GOTIK
SEJARAH ARSITEKTUR GOTIK
Arsitektur
bergaya Gotik lahir pada periode Romantik. Periode ini ditandai dengan beberapa
aliran arsitektur antara lain Byzanthium, Romanesque, Gotik, Renaissance, serta
Baroque dan Rococo.
Pada
umumnya arsitektur gaya Gotik dipahami sebagai satu warisan budaya yang telah
eksis sejak hampir 500 tahun lalu. Paham Renaissance mempercayai bahwa jatuhnya
kekaisaran Romawi mengakibatkan munculnya era kemerosotan (degradasi)
kebudayaan, sebelum kemudian seni budaya bangkit kembali pada abad ke 15. Untuk
menandai pencapaian tersebut, para penulis paham Renaissance menggambarkan
bahwa seni abad pertengahan bagaikan lentera yang suram : “Masa Kegelapan”
datang ketika kaum barbar dari utara menginvasi dan ‘meruntuhkan’ budaya zaman
purba dan menggantikannya dengan kebudayaan mereka. Kaum Goth, yang
sesungguhnya membuat sedikit kerusakan fisik ketika mereka mengambil alih
kekuasaan Romawi pada tahun 410 adalah suku yang dianggap bertanggung jawab
atas malapetaka ini. Karenanya terminologi Gotik dibuat oleh paham Renaissance
sebagai bagian dari definisinya sendiri.
Kerancuan
etimologi ini hanya satu dari kekacauan yang ditimbulkan oleh arsitektur Gotik.
Pada awal abad 18, gaya Gotik kembali menjadi favorit dan dihargai oleh gerakan
Romantik dengan mengabaikan beberapa nilai yang telah diabaikan dan dianggap
rendah oleh kaum Renaissance – kebebasan irasional dan inti sari paham
Christianity
(sebagai kebalikan dari arsitektur Renaissance yang sangat “rasional” dan
“penyembah berhala”. Pada bangunan-bangunan baru didirikan dengan gaya Gotik,
para arsitek dan akademisi telah meneliti dan mempertimbangkan sejarah dan
maknanya.
Istilah
gotik tersebut dianggap tidak sesuai dengan kategori dan kosakata yang telah
disusun untuk arsitektur era Klasik dan Renaissance, antara lain karena sangat
asing dan berbeda, lebih mudah ditirukan daripada dipahami. Terminologi Gotik
tetap dipelihara, dengan mengabaikan absurditasnya, tidak ada satupun periode
arsitektur yang memberikan judul yang demikian tidak layak. Kemisteriusannya,
terlihat sebagai energi utama yang tertangkap pada istilah ‘Gotik’, dengan
penambahan nada pada asal-muasal kemisteriusannya, dongeng yang menyimpang,
serta imajinasi liar mengenai kaum barbar dari utara. Meskipun “Gotik” menjadi
istilah yang tidak ada definisi arsitekturnya, tetapi gaya tersebut telah
didefinisikan melalui bentuk arsitekturnya, dan mengabaikan apapun arti yang
disarikan atau dibaca mengenainya.
Secara
umum terdapat 3 (tiga) pendekatan yang cenderung dominan dalam interpretasi
arsitektur Gotik, yakni struktur, visual, dan simbolik.
Arsitektur Gotik
Arsitektur
Gotik berkembang sejak abad ke-12. Awalnya, arsitektur Gotik dikenali sebagai
“Opus Francigenum” atau “Gaya Prancis” karena memang mula-mula berkembang di
Prancis. Julukan “gotik” sebenarnya baru diberikan pada abad ke-16 oleh
Giorgio
Vasari dengan konotasi negatif. Istilah “gotik” tidak spesifik merujuk pada
bangsa Goth maupun Ostrogoth, namun merujuk pada peradaban
non-Romawi/nonJermanik, yang dianggap barbar dan tidak berselera.
Awal
popularitas arsitektur Gotik diyakini oleh seorang kepala biara (Abbott)
bernama Suger dengan merenovasi gereja dari biara (Abbey) St. Denis, di sebelah
utara Paris, pada tahun 1137. Pada awalnya Abbott Suger membangun ulang bagian
westwork, membuat tiga lengingan pintu masuk dan menambahkan elemen Rose
windows, yaitu kaca patri hias berbentuk lingkaran. Kemudian Suger melakukan
perombakan bagian chancel uruk lebih banyak memasukan sinar matahari. Menurut
catatannya, Suger berpendapat bahwa pengalaman religius banyak dimanifestasikan
dalam bentuk kehadiran cahaya sehingga perombakan St. Denis ditujukan untuk
menghadirkan cahaya ke dalam ruang gereja secara artistik. Selain itu,
artikulasi bentuk pada elemen-elemen bangunan seperti pada kolom dan lengingan
gereja Gotik menyajikan pengalaman ruang yang jauh berbeda dengan gereja
Romanik.
Bagian
chancel gereja St. Denis tidak lagi berupa dinding masif berbentuk setengah
silinder seperti pada gereja-gereja Romanik melainkan terartikulasi menjadi
lebih kompleks berupa dua lapis ambulatory. Pada bagian ini seluruh busur
ditampilkan sebagai ribbed vault. Pada ambulatory lapis luar, bidang
langit-langitnya berbentuk segilima dan memiliki bidang kaca patri yang lebar
dan banyak. Permukaan kolom-kolom berpenampang kecil sehingga kolom tidak lagi
nampak masif dan tebal seperti
arsitektur Romanik. Hasilnya, ruang dalam arsitektur Gotik tampak ringan dan
bermandikan cahaya.
Upaya
untuk memperlebar bidang kaca patri dan membuat elemen-elemen solid bangunan
lebih ramping diikuti juga dengan skala bangunan yang lebih lebar dan lebih tinggi.
Ruang dalam yang lebih tinggi, namun terlihat lebih ramping tentu bertentangan
dengan kaidah struktur. Konstruksi dinding masif yang biasa terdapat pada
arsitektur Romanik tidak lagi cukup untuk menopang skala arsitektur Gotik
sehingga beberapa inovasi struktural dihadirkan. Apabila kita memperhatikan
denah-denah gereja Gotik seperti Notre Dame di Paris (1163-1250), katedral
Lincoln di Inggris (1230-1250), katedral Chartres (1194-1220), dan Katedral
Amiens di Bourges (1195-1214), rata-rata dinding luar gereja-gereja tersebut
bukanlah berupa dinding menerus, melainkan berupa bidang-bidang dinding tebal
yang menonjol tegak lurus terhadap bidang dinding. Bidang- bidang
tersebut dinamakan buttress. Buttress berguna untuk menyalurkan beban vertikal
dari atap menuju tanah sekaligus menahan beban horizontal. Buttres sudah
dikenal dalam pembangunan gereja-gereja Romanik sebagai elemen penguat untuk
menahan gaya horizontal yang di hasilkan beban dari atap, terutama pada
gereja-gereja yang memiliki Ade yang tinggi dan lebar. Pada gereja Romanik,
buttres tampil sebagai tonjolan-tonjolan bidang pada dinding. Semakin tinggi
dan lebar nave yang dibuat, semakin besar pula tonjolan buttress yang di
hasilkan. Peran buttress pada gereja Gotik semakin penting karena dinding tebal
khas gereja Romanik tidak lagi ada, dan pembebanan hanya ditumpu oleh buttress.
Namun
karena Ade pada katedral Gotik dibuat begitu tinggi, beban horizontal yang
harus ditahan oleh buttress semakin besar. Supaya distribusi beban lebih merata
dan buttress tidak menjadi terlalu besar maka dibuat beberapa lapis buttress,
sesuai dengan banyaknya lapisan Isle, yang berfungsi untuk menyalurkan beban
sebanyak dan berlangsung mungkin ke tanah. Untuk itu buttress dan dinding Ade
dihubungkan oleh flying buttress. Flying buttress ini mendominasi bagian luar
gereja-gereja Gotik sehingga secara keseluruhan tampak seperti rangkaian
mahkota yang kaya ornamen.
Arsitektur
gotik juga menerapkan solusi struktur bagi bangunan-bangunannya yang menjulang
tinggi, seperti halnya arsitektur romanesk yang mengandalkan sistem triforium
untuk menyangga bangunan, arsitektur gotik mengandfalkan sistem flying
buttress. Sistem flying buttress pada dasarnya adalah sistem triforium, namun
arsitektur gotik lebih bereksperimen dalam hal struktur. Bidang penyangga
triforium dicoak hingga menjadi struktur yang organik, lebih meruang. Luar
biasanya, selain flying buttress seluruh dinding dan elemen vertikal merupakan
penyangga beban bangunan, bahkan hingga tralisnya sekalipun.
Salah
satu ciri khas arsitektur Gotik adalah lengkungan dan busur tidak lagi
berbentuk setengah lingkaran tapi membentuk ujung yang runcing, atau biasa
disebut pointed arch. Groin vault maupun ribbed vault lain yang dihasilkan pun
berbentuk meruncing. Variasi lengingan dan ribbed vault lain dihasilkan pada
era Gotik juga mencangkup depressed arch, yaitu busur dengan kelengkungan yang
landai, fan vaulting, yaitu rusuk kubah rapat yang di jajar seperti kipas,
maupun beberapa varian lain.
Keberadaan
ribbed vault dan berbagai variannya menandakan bahwa para pembangun arsitektur
Gotik adalah tenaga terampil yang sangat percaya diri dan menguasai karakter
material bangunan dengan sangat baik. Arsitek Eugene Viollet-leDuc merupakan
arsitek modern yang memahami anatomi arsitektur Gotik sebagai satu kesatuan
dari komponen-komponen yang bekerja sama, saling pukul, dan satu rangkaian
kompak. Hal ini agak sulit dipahami orang awam atau orang yang tidak memiliki
latar belakang ilmu konstruksi karena arsitektur Gotik cenderung kaya akan
artikulasi ruang, ornamen, dan dekorasi. Violet-le-Duc berpendapat bahwa banyak
elemen dekoratif pada arsitektur Gotik yang juga sebenarnya berfungsi sebagai
elemen-elemen struktural. Violet-le-Duc memaparkan elemen-elemen tersebut
hingga kepingan kepingan terkecil untuk menjelaskan hubungan-hubungan struktur,
konstruksi, dan anatominya.
Secara
keseluruhan, ruang yang dihasilkan oleh arsitektur Gotik senantiasa monumental
dan seakan bertentangan dengan karakter materialnya. Struktur batu yang dikenal
masif dan berat tampil tipis dan seakan ringan pada arsitektur Gotik. Ruang
nave yang pada arsitektur Romanik di asosiasikan gelap dan misterius tampil
terang bermandikan cahaya dan cerah pada arsitektur Gotik. Keseluruhan
pencapaian sensasi ruang Gotik yang dihasilkan dipecahkan dengan keluar dari
tradisi membangun yang ada.
Rangkuman
ciri khas dan karakteristik bangunan bergaya gotik antara lain :
1. Menara
(Tower)
Keberadaan
menara di depan dan belakang bangunan menjadi ciri khas bangunan bergaya gotik,
terutama pada bangunan gereja. Pada masa itu menara berfungsi sebagai pertanda
bahwa bangunan itu adalah bangunan peribadatan di dalam gereja, dan terbukti
sampai saat ini isyarat pertanda itu masih di pakai sampai sekarang. Menara
yang menjulang tinggi tersebut juga mempunyai fungsi sebagai tempat lonceng
yang di letakkan di atas menara tersebut.
2. Struktur
bangunan tinggi (vertikal)
Bangunan
gotik umumnya memiliki tinggi yang jauh melebihi skala manusia, karenanya pada
masa itu Katedral atau biara gotik menjadi bangunan pencakar langit bila
dibandingkan bangunan sekelilingnya.
3. Struktur
atap flying buttress
Ciri
terpenting pada bangunan bergaya gotik adalah sistem struktur atap yang
berbentuk flying buttress, yaitu balok miring yang melayang dan menyalurkan
beban ke atap, memperkuat bangunan sekaligus juga sebagai estetika. Contoh
bangunan gereja yang menggunakan sistem flying butters adalah Katedral Notre Dame.
4. Langit–langit
berbentuk Busur Meruncing
Langit-langit
bangunan gotik berbentuk busur yang meruncing dikarenakan keinginan untuk
menciptakan atap meruncing sebagai arsitektur vernakular Eropa. Hal ini
merupakan karena tuntutan cuaca di Eropa pada musim dingin bersalju.
5. Pemakaian
bentuk ribbed vaults atau kubah yang menyerupai kubus.
Ini
adalah salah satu pembeda arsitektur gotik dengan periode sebelumnya yaitu
sistem struktur kolom dan langit-langit tidak terpisah. Kolom di sini digabung
yang menyerupai ranting pohon dan selanjutnya berkembang menjadi mirip
kipas.
6. Ukuran
diameter kolom menjadi sangat besar
Ukuran
kolom yang besar disebabkan karena merupakan gabungan dari kolomkolom kecil
sehingga terlihat besar yang langsung menopang rusuk-rusuk. Jajaran kolom yang
tersusun dengan pola grid merupakan struktur kolom utama bangunan gotik.
Meskipun
sama-sama berukuran besar, pada arsitektur Yunani hal ini dikarenakan untuk
menopang atap dan entablature yang sangat besar. Dan selanjutnya kolomnya
berkembang menjadi kolom struktural dan non-struktural.
7. Bukaan-bukaan
yang lebar
Langit-langit
yang tinggi dan jendela kaca yang besar menyebabkan cahaya alami menyelimuti
ruangan sehingga interior terlihat terang benderang. Unsur pencahayaan, terutama
pada bangunan gereja dan katedral, menjadi unsur yang diartikan menambah
keanggunan dan unsur spiritual bagi jemaat di dalamnya.
8. Adanya
jendela bunga (rose window)
Kalau
diartikan secara arsitektural, bukaan dimaksudkan untuk pencahayaan, tetapi
rose window dibuat untuk alasan religius, yang dimaksudkan bahwa sebuah simbol
firman Tuhan yang memasukkan cahaya ke dalam hati jemaat sehingga bisa
menerangai hati mereka yang gelap.
9. Kaca
patri
Keberadaan
kaca patri menunjukkan bahwa pada abad ke 12 teknologi kaca patri ini sedang
maju dan berkembang. Lukisan dalam kaca patri umumnya menggambarkan peristiwa
atau pesan-pesan simbolik.
10. Diwarnai
ornamen religius
Bangunan
bergaya gotik, utamanya gereja dan katedral, umumnya dihiasi ornamen dan
simbol-simbol religius yang berisi pesan/ajaran bagi umat/jamaah misalnya
patung orang suci dst.
11. Clerestory
jendela dan dinding-dinding penopang
Kolom
internal arcade dengan poros mereka terpasang, kosta kubah dan dindingdinding
penopang terbang, dengan dinding-dinding penopang vertikal yang terkait
menonjol di sudut kanan ke gedung, membuat kerangka batu. Antara bagian-bagian,
dinding dan pengisi dari kubah bisa konstruksi ringan. Antara sempit penopang,
dinding bisa dibuka sampai ke jendela-jendela besar. Melalui periode Gotik
karena fleksibilitas dari lengkungan menunjuk, struktur jendela Gotik
dikembangkan dari bukaan sederhana untuk sangat kaya dan dekoratif desain
patung. Jendela sangat sering diisi dengan kaca patri yang menambahkan dimensi warna
cahaya di dalam bangunan, serta menyediakan media untuk figuratif dan seni
narasi.
Makna dan ritual
Ruang
yang ada dalam gereja-gereja pada masa lampau harus dipahami dengan cara yang
berbeda dengan yang berlaku saat ini. Bisa jadi berbagai pemaknaan, simbol, dan
kegunaan bergeser dan berubah sehingga ruang-ruang yang masih ada dalam
gerejagereja tua di Eropa tidak lagi sama. Meskipun demikian, bentukan-bentukan
ruang tertentu senantiasa dibuat ulang maupun dikembangkan dengan fungsi dan
pemaknaan baru.
Prosesi
dan liturgi yang diadakan dalam upacara-upacara keagamaan juga menjelaskan
pemaknaan ruang-ruang yang ada. Prosesi dalam ruang gereja Bizantium berbeda
dari urutan prosesi yang di wariskan sejak Abad Pertengahan. Begitu pula antara
gereja Bizantium dengan gereja Roma. Pada gereja era Bizantium, prosesi masuk
yang simbolis, menggambarkan peran politis dan interaksi antara kekaisaran dan
gereja, antara negara dan agama. Beberapa elemen tradisi ini masih di
praktikkan pada ritual di gerejagereja Kristen Ortodoks/Yunani. Prosesi
memasuki gereja melewati narthex masih dilakukan di tradisi Katolik Roma oleh
imam dan beberapa orang putra altar (asisten imam pada upacara) dengan membawa
dupa, salib, dan berbagai perlengkapan upacara. Variasi bentuk gereja tidak
berhenti sampai di sana, namun tetap berlangsung hingga saat ini, disesuaikan
dengan pemahaman dan konteks.
Orientasi
dan sumbu utama gereja-gereja awal masih sangat dipengaruhi oleh orientasi
kuil-kuil pagan yang biasanya menghadap timur (kadang bergeser sedikit ke arah
tenggara). Hal ini bisa jadi berhubungan dengan ritual pemujaan matahari yang
senantiasa datang dari timur sehingga cahaya pagi masuk menyinari ruang dalam
yang gelap dan dingin. Orientasi menghadap timur ini tetap bertahan cukup lama
dalam tradisi mendirikan gereja meskipun tidak ada lagi menyisakan makna yang
mungkin dulu ada. Pengalaman dan sensasi keuangan yang ditimbulkan oleh
masuknya sinar matahari ke dalam ruang gereja senantiasa diasosiasikan dengan
makna-makna baru. Bangunan yang sama atau tapak bangunan Basilika digunakan
(dan dibangun ulang di titik yang sama) sebagai bangunan gereja dan mengalami
pemaknaan kembali setiap kali ada pergeseran keyakinan dan ritual hingga
berabad-abad kemudian.
Satu
tipe bangunan yang maknanya sudah berakar cukup kuat dalam masyarakat biasanya
bertahan dalam jangka waktu yang sangat panjang. Namun satu ideologi atau
gagasan akan satu keyakinan dapat lebih cepat bergeser ketimbang arsitektur.
Arsitektur bahkan bisa dibangkitkan kembali pada satu kurun waktu ketika
dianggap kembali relevan dengan nilai-nilai baru.
Pengalihgunaan
satu bangunan religius menjadi bangunan religius lain merupakan kejadian yang
sangat lazim terjadi. Kadang kala pergantian rezim yang relatif damai tidak
serta-merta membangkitkan kebencian atau penghancuran simbol rezim terdahulu.
Pengalihgunaan bangunan bangunan juga bisa terjadi karena alasan praktis
(kebutuhan akan bangunan yang mendesak) atau memang disadari sebagai bagian
dari strategi politik untuk tetap menjaga perdamaian (di konteks masyarakat
yang berkonflik). Mungkin juga disebabkan pergantian rezim tidak dikaitkan
dengan keyakinan atau rezim yang bertentangan, justru berbagi identitas
kultural di dalam peninggalan arsitekturnya. Beberapa bangunan religius yang
monumental kerap di hormati tidak hanya oleh masyarakat pembuatnya, namun juga
di hargai dan mewakili identitas kultural rival-rival politiknya. Di Timur
Tengah banyak situs dianggap suci tidak hanya oleh satu kelompok keyakinan,
namun oleh beberapa kelompok keyakinan sekaligus dengan merujuk pada satu
peristiwa sejarah yang spesifik, atau peninggalan dari tokoh tertentu (makam
misalnya). Penguasaan oleh salah satu pihak saja biasanya berujung pada konflik
antar keyakinan yang sangat sulit dipadamkan.
Material
Material
gotik berasal dari Negara – Negara di Eropa seperti kapur dari Prancis &
Inggris, marmer dari Italia, batu bata dari Jerman dan Skandinavia yang
bangunan gaya gotiknya dinamakan “Brick Gothic”.
Agama
Periode
awal Abad Pertengahan telah melihat pertumbuhan yang cepat di monastisisme,
berbeda dengan beberapa perintah yang lazim dan menyebarkan pengaruh mereka
secara luas. Terpenting adalah Benediktin yang besar gereja-gereja biara jauh
kalah yang lainnya di Inggris. Sebagian dari pengaruh mereka adalah bahwa
mereka cenderung untuk membangun dalam kota, tidak seperti Cistercians biara
yang hancur terlihat di pedesaan terpencil. The Cluniac dan Perintah Cistercian
yang lazim di Perancis, biara besar di Cluny didirikan memiliki rumus untuk
monastik situs direncanakan dengan baik yang kemudian mempengaruhi semua
bangunan monastik selanjutnya selama berabad-abad.
Pada
abad ke-13 St Fransiskus dari Assisi mendirikan Fransiskan , atau apa yang
disebut "Grey Friars", perintah pengemis. Para Dominikan , perintah
lain pengemis didirikan pada periode yang sama tetapi dengan St Dominic di
Toulouse dan Bologna , yang terutama berpengaruh dalam pembangunan gereja
Gothic's Italia.
Referensi:
Sopandi, Septiadi. Sejarah Arsitektur. UPH
Press, Jakarta, 2013.