Tinjauan Pustaka | Studi Kasus | Identifikasi | Karya | Referensi | Arsitektur dan Lainnya
Friday, November 18, 2016
Browse » Home »
Arsitektur Melayu
,
Arsitektur Tradisional
,
Kampar
,
Studi Kasus
,
Studi Literatur
» ARSITEKTUR TRADISIONAL MELAYU DI LIMA KOTO KABUPATEN KAMPAR
ARSITEKTUR TRADISIONAL MELAYU DI LIMA KOTO KABUPATEN KAMPAR
Pendahuluan
Perkembangan perumahan dan permukiman saat ini cenderung kurang
memperhatikan keberadaan rumah tradisional, khususnya arsitektur Rumah
Tradisional Melayu. Rumah-rumah tradisional saat ini sudah mulai ditinggalkan
dan menggantinya dengan rumah modern vernakular.
Kondisi ini memang tidak terlepas dari perubahan pola hidup masyarakat, yang menuntut penyesuaian konsep hunian atau tempat tinggal yang lebih mengakomodasi kebutuhan penghuninya pada saat sekarang ini.
Kondisi ini memang tidak terlepas dari perubahan pola hidup masyarakat, yang menuntut penyesuaian konsep hunian atau tempat tinggal yang lebih mengakomodasi kebutuhan penghuninya pada saat sekarang ini.
Dalam penelitian arsitektur tradisional, tipologi digunakan sebagai alat
untuk menganalisis obyek. Dengan tipologi suatu obyek arsitektur dapat
dianalisis perubahan-perubahan yang berkaitan dengan bangun dasar, sifat dasar,
serta proses perkembangan bangunan dasar tersebut (Mochsen M., 2005). Ryeung,
S. (2012) menyatakan bahwa dalam menganalisis tipologi rumah tradisional melayu
diperlukan kajian terhadap tiga elemen bangunan rumah yaitu; atap, dinding dan
pilar.
Rumah tradisional melayu menurut Ryeung, S. (2012) didefinisikan sebagai
rumah masyarakat yang diwujudkan melalui citra rasa dan dibangun menggunakan
teknik dan bahan bangunan setempat. Hosein, A. (2012) dalam penelitian mengenai
rumah tadisional melayu menyatakan bahwa konsep privasi dan optimal ruang,
kesederhanaan, multi-fungsionalitas, kedekatan kekerabatan, tata ruang yang
terbuka dan fleksibilitas adalah merupakan nilai-nilai sosial budaya yang
signifikan berpotensial untuk dapat diterapkan dalam disain rumah kontemporer.
Makna rumah tradisional melayu melambangkan simbol “Tiga Tungku Sejerangan” yang
artinya sesuatu yang hendak diperbuat hanya dapat sempurna keadaannya jika ada
tiga tungku landasan yang mendukungnya. Hal ini ditandai pada tiga fungsi
pembagian ruang, yaitu (i) ruang rumah induk, (ii) ruang serambi muka/tamu,
(iii) ruang dapur/serambi belakang (Husny, 1976). Menurut Husni (1976),
masyarakat Melayu dahulunya membangun rumah mereka dengan alasan (1)
penyelamatan terhadap bahaya bahaya banjir /pasang surut, (2) melindungi dari
serangan dan ancaman binatang (3) menghindari kelembaban dan, (4) tempat
menyimpan peralatan.
Karakteristik Rumah Tradisional
Lontik
Lokasi
Bangkinang
adalah ibu kota Kabupaten Kampar, Riau yang berjarak 60 km dari Pekanbaru (ibu
kota provinsi Riau). Sebagai ibu kota kabupaten yang berdekatan dengan ibu kota
provinsi dan menjadi daerah penghubung menuju Sumatera Barat. Mayoritas
penduduk Bangkinang beragama Islam. Daerah ini awalnya merupakan bagian dari
Sumatera Barat, namun setelah penjajahan Jepang, dengan pembagian distrik yang
ditentukan oleh Jepang, maka Bangkinang dipindahkan ke dalam Provinsi Riau
bersama Kabupaten Kuantan Singingi dan Rokan Hulu.
Di desa
Wisata Pulau Belimbing yang berada di kabupaten Kampar provinsi Riau, masih
menyimpan banyak bangunan Rumah Lontiok, Rumah Pencalang dan Rumah Lancang.
Hanya saja, sebagian sudah mengalami kondisi yang tidak terawat.
Daerah
ini lazim disebut Lima Koto atau Lima Koto Kampar. Di dalamnya tercakup Kampung
Rumbio, Kampar, Air Tiris, Bangkinang, Solo, Kuok, yang termasuk daerah
Kecamatan Kampar dan Kecamatan bangkinang. Kesatuan daerah lima Koto ini
merupakan kesatuan daerah hukum adat yang berbeda dengan adat sesama suku
Melayu di Kabupaten Kepulauan riau, maupun daerah suku Melayu daerah pesisir
lainnya. Yang bersamaan dengan adat daerah ini adalah Rantau Kuantan di
Kabupaten Indragiri Hulu dan sebagian dari daerah Rokan.
Di
daerah ini masih banyak terdapat bangunan tradisional, baik berupa rumah tempat
tinggal, maupun rumah Ibadah. Diantaranya ada yang masih utuh dan ada pula yang
dalam proses kepunahan.
Rumah Tempat
Tinggal (Rumah Lontik)
Sebutan
lain adalah Rumah Pencalang atau Rumah Lancang. Nama Lontik diberikan
menurut bentuk perabung atapnya yang lentik ke atas, sedangkan nama Pencalang
dan Lancang diberikan karena bentuk hiasan kaki dinding depannya mirip perahu.
Latar
belakang lahirnya sebutan ini besar kemungkinan dari kebiasaan penduduk Lima
Koto Kampar yang dahulunya membuat perahu dengan rumah-rumah perahu (disebut
magon) yang hampir sama bentuknya dengan rumah kediaman mereka. Tetap belumlah
diketahui apakah bentuknya rumah-rumahan perahu itu yang meniru bentuk rumah
kediamannya atau sebaliknya. Di dalam perahu itulah mereka melakukan pelayaran
dagang dengan membawa benda-benda dagangannya ke berbagai daerah, terutama di
sepanjang aliran sungai Kampar. Perahu ini dikenal pula dengan nama
“Belungkang”. Mereka diam berbulan-bulan dalam perahu itu.
Fungsi Rumah
Lontiok
Rumah
lontiok sendiri biasanya dipergunakan masyarakat untuk berkumpul atau
bermusyawarah besar dengan melibatkan ninik mamak tokoh pemuda kampung Pulau
Belimbing ini sendiri. Tempat ini juga merupakan sebuah warisan budaya, cagar
wisata yang sangat berpotensi dalam mendatangkan wisatawan baik lokal maupun
mancanegara.
Tipologi
Rumah
ini bertipologi rumah panggung dan persegi panjang. Rumah ini berbentuk rumah
panggung disebabkan antara lain:
- Menjaga kemungkinan bahaya binatang buas, dan banjir. Di Riau sungai-sungainya selalu dilanda banjir, sedangkan penduduk membuat rumah di sepanjang aliran sungai.
- Kolong rumah dapat pula dipergunakan sebagai tempat kandang ternak, tempat bertukang dan tempat anak-anak bermain. Penduduk juga terbiasa mengumpulkan kayu bakar untuk persiapan bulan puasa. Kayu bakar itu disimpan di kolong rumah. Perahu perahu yang tidak dipergunakan juga disimpan di kolong rumah.
- Kemungkinan lain yang menyebabkan penduduk membuat bangunan bertipologi demikian adalah:
- Adanya ketentuan adat yang menyuruh rumah harus memakai tangga dengan lima anak tangga. Lima anak tangga ini mengandung makna Rukun Islam yang lima.
- Adanya ketentuan adat yang menyebutkan bahwa kalau bertamu ke rumah orang dan disana tidak ada lelakinya, tamu tersebut haruslah meletakkan sebelah kakinya ke anak tangga teratas dan sebelah lagi kebendul rumah.
- Adanya kebiasaan penduduk untuk mencuci kaki di pangkal tangga, dengan menyediakan tempayan air disana.
- Adanya ketentuan adat, bahwa penghuni rumah terutama kaum wanitanya, berpakaian seadanya (berkain kemban tanpa baju) di dalam rumah atau tidur-tidur di dalam rumah tanpa ada ruangan penyekat/ pelindung. Kalau rumah rendah atau tidak bertiang sama sekali, keadaan itu akan kelihatan oleh orang yang lalu lalang di depan rumah.
Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi yaitu merekam dan menyajikan
fenomena yang ditemukan dilapangan sebagai fakta yang mencakup kondisi
eksisting dan perubahannya. Pengumpulan data rumah tradisional secara fisik
dilakukan dengan melakukan pengukuran dan perekaman, sedangkan data sekunder
diperoleh melalui studi literatur, jurnal dan penelitian yang serupa. Klasifikasi
bentuk rumah tradisional dibedakan berdasarkan elemen bangunan yaitu meliputi;
atap, dinding dan pilar (Ryeung S., 2012). Sedangkan tipologi ruang mencakup
pola dan fungsi ruang. Survei dilakukan di lokasi yang masih relatif banyak
terdapat rumah tradisional yaitu di Desa Pulau Belimbing Kab. Kampar, Riau.
Pemilihan rumah yang diobservasi dengan metode purposive sampling, dengan
kriteria pemilihan antara lain keaslian betuk/arsitektur rumah dan rumah yang
masih dihuni. Analisis data dilakukan
melalui pendekatan diskriptif-kualitatif. Kondisi temuan dilapangan dianalisis
berdasarkan hasil interpretasi peneliti terhadap kondisi eksisting rumah yang
ditemukan di lapangan. Sedangkan untuk aspek perubahan pada rumah tradisional,
analisis yang akan dilakukan adalah menyandingkan antara hasil survei yang ditemukan
di lapangan dengan gambaran kondisi arsitektur rumah tradisional berdasarkan
literatur/referensi. Lokasi studi difokuskan di Desa Pulau Belimbing, Kab.
Kampar, Riau.
Hasil Dan Pembahasan
Bentuk-bentuk
bagian
Pada
bangunan biasanya diberi hiasan, yakni pada: Puncak bubungan atap, ujung
cucuran atap, lisplank, bagian atas dan bawah ambang pintu dan jendela,
sepanjang kaki dinding, pada sudut-sudut dinding, pada sandin (sudut) tiang,
kaki tiang, kasau, dan bagian rumah yang tampak.
Tangga
Anak
tangga dibuat 5 tingkat, jumlah ini ada kaitannya dengan ajaran Islam, yakni
Rukun Islam Lima. Tangga dibuat dari kayu keras, diberi ukiran pada kaki dan
anak tangga nya. Ukiran khusus dibuat di
kepala tiang tangga. Tiang dan anak tangga pipih, dibuat dari papan tebal.
Tiang tangga dipasang miring tetapi tidak sampai ke dinding, melainkan bertumpu
pada injak-injakan di depan pintu yang disebut penonggan. Penonggan ini lebarnya kira-kira 40 cm sedangkan panjangnya
tergantung kepada lebarnya pintu. Di pangkal tangga dibuat alas dari kayu keras
atau batu, dan di sampingnya diletakkan tempayan air untuk mencuci kaki.
Tiang
Tiang
berbentuk balok segi delapan. Pada tiang yang terletak dibagian luar diberi
hiasan khusus yang disebut tiang gantung. Fungsi utamanya adalah sebagai
penopang kerangka dinding sebelah bawah. Tiang ini dipahatkan dan dipasakkan ke
tiang tempat ia menempel itu.
Makna segi-segi
tiang tersebut:
- Segi empat: Melambangkan empat penjuru mata angina. Dengan demikian, rumah itu akan dapat mendatangkan rezeki dari keempat penjuru tersebut
- Segi enam: Melambangkan Rukun Iman alam ajaran Islam. Dengan demikian diharapkan pemilik rumah akan tetap taat dan beriman kepada Tuhannya, sesuai menurut ajaran Islam.
- Segi tujuh: Melambangkan tujuh tingkatan surga dan tujuh tingkatan neraka. Kalau pemilik rumah baik dan saleh, maka ia akan masuk salah satu dari ketujuh tingkat surga, sebaliknya kalau jahat, akan masuk salah satu tujuh tingkat neraka.
- Segi delapan: Melambangkan delapan mata angina. Maksudnya sama seperti segi empat.
- Segi sembilan: Melambangkan bahwa pemilik rumah itu adalah dari golongan orang berada dan mampu. Tetapi ini tidaklah mutlak, karena banyak pula orang yang berada dan mampu tidak membuat tiang rumahnya bersegi sembilan.
Tiang
Utama adalah Tiang Tuo, yakni tiang yang terletak pada deretan kedua pintu
masuk (muka) sebelah kiri dan kanan. Tiang ini tidak boleh bersambung.
Tiang-tiang lainnya tidak ditentukan jumlahnya, tergantung kepada besarnya
rumah. Bahan tiang dipilih secara teliti, terutama untuk Tiang Tuo. Kayu yang
lazim dipakai adalah kulim, tembesu, resak dan punak. Biasa pula setiap tiang
itu diberi variasi yakni dengan segi-seginya. Di bawah sekali dibuat persegi
empat, kemudian segi enam dan di atasnya segi delapan. Tiang Gantung sebelah
luarnya diberi ukiran berupa rakukan dengan motif daun dan bunga
Rasuk
Bentuknya
balok persegi empat, bahannya dari kayu keras seperti tembesu, resak dan kulim.
Umumnya rasuk dibuat dua lapis atau ganda. Tetapi ada juga dibuat satu. Rasuk
ganda disebut rasuk induk dan rasuk anak. Rasuk induk sebelah bawah dan rasuk
anak sebelah atas.
Gelegar
Gelegar
adalah kayu tempat meletakkan papan lantai. Bentuknya persegi empat atau bulat,
bahannya dari kayu keras.
Lantai
Lantai
dibuat dari papan yang disusun rapat, pemasangan sejajar dengan rasuk dan
melintang di atas gelegar. Bahan lantai yang terbaik adalah kayu punak dan
medang. Untuk merepatkan lantai, diberi pian
atau lidah dan purus. Lantai rumah induk dan lantai loteng harus rapat,
sedangkan lantai bagian belakang ada yang rapat, setengah rapat dan beranjak
beberapa sentimeter.
Tutup Tiang
Bentuknya
balok persegi empat, ukurannya tergantung besarnya tiang. Tutup tiang yang
menghubungkan tiang-tiang sudut bangunan disebut Tutup Tiang Panjang, sedangkan menghubungkan antara tiang dengan
tiang lainnya disebut Tutup Tiang Pendek.
Bahan kayunya sama dengan bahan tiang.
Alang
Alang
adalah pekayuan yang berbentuk persegi atau bulat, dipasang di atas tutup
tiang. Fungsinya dapat disamakan dengan gelegar loteng, dan bahannya sama
dengan bahan tutup tiang.
Kasau
Kasau
lebih kecil dari alang, juga berbentuk persegi atau bulat. Kasau yang besar
terletak sebelah bawah gulung-gulung disebut Kasau jantan, sedangkan yang di atas gulung-gulung disebut Kasau Betina. Bahannya kayu keras,
tetapi tidaklah terlalu terikat kepada jenis kayu untuk bagian-bagian lainnya.
Yang harus kayu keras adalah kasau jantan.
Kasau betina dapat diganti dengan
kayu lain, asal liat, karena perlu dibentuk menurut lengkungan tertentu.
Tunjuk langit
Tunjuk
langit besarnya hamper sama dengan Tiang Tuo, bentuknya balok persegi empat.
Pada Tunjuk langit dipasang kuda-kuda dan palang kuda-kuda. Tunjuk langit
dipasang di atas tutup tiang, terutama pada kedua ujung perabung. Tunjuk langit
yang di ujung perabung itu lebih tinggi dari yang di tengah, sehingga membentuk
perabung yang melengkung ujung pangkalnya ke atas. Lengkungan itu tidaklah
terlalu lentik, tetapi sesuai dengan ukuran rumah. Biasanya perbedaan
ketinggian ujung perabung dengan bagian tengah terendah adalah antara 5:1 atau
4:1
Sento
Sento
sebenarnya berfungsi sebagai kerangka pintu dan jendela. Bentuknya balok
persegi empat.
Jenang
Jenang
bentuknya persegi empat, sama seperti sento. Jenang adalah tempat sento
dipahatkan, fungsinya sebenarnya sebagai kerangka pintu dan jendela. Ujung atas
dan bawahnya dipahatkan ke dalam balok kaki dinding dan balok tutup dinding.
Jadi sebenarnya sento dan jenang adalah sebagai kusen pintu dan jendela.
Dinding
Dinding
rumah Lontik bentuknya khusus, yaitu
sebelah luar seluruhnya miring keluar, sedangkan dinding dalam tegak lurus.
Dinding seluruhnya tidak memakai rangka dinding, tetapi di lekatkan kepada
balok yang dipurus dimana dinding ditanamkan. Balok ini selain berfungsi sebagai
rangka dinding, juga sekaligus menjadi “les” penemu antara papan satu dengan
papan lainnya.
Kaki
dinding bertumpu pada balok khusus. Balok ini sebelah bawahnya bertumpu pada
ujung gelegar dan Tiang Gantung, sebelah atasnya bertumpu pada tutup atas
dinding yang berhubungan dengan balok tutup tiang.
Balok
kaki dinding sebelah muka bentuknya melengkung ke atas, dan kalau disambung
dengan ukiran sudut-sudut dinding, kelihatan seperti bentuk perahu. Balok kaki
dinding muka dibuat dua lapis, yang di atas lebih kecil dari yang sebelah
bawah.
Balok
tutup atas dinding juga melengkung, tetapi tidak terlalu melengkung,
disesuaikan dengan lengkungan kaki atap. Kemiringan atas dinding tidaklah
ditentukan. Papan dinding dipasang tegak, pada bagian tertentu dapat dipasang
miring sebagai variasi. Lebar papan dinding rata-rata 10 dan 15 cm.
Pintu
Pintu
pada bagian atasnya diberi hiasan ukiran terawang berupa lengkungan yang
disebut lambai-lambai. Bentuk
lengkung melambankan alam semesta, terawang melambangkan bintang-bintang di
langit. Pengertian lain dari lambai-lambai adalah keramah-tamahan dan
penghormatan pemilik rumah kepada tamunya.
Daun
pintu dua lembar berbentuk panel, pada bagian bawahnya diberi hiasan berupa
kisi-kisi dan ukiran rendah antara 10 dan 20 cm, panjangnya menurut lebar
pintu. Daun pintu semua dibuka ke dalam.
Tinggi
ambang pintu antara 1,5-1,75 m. lebarnya antara 60-100 cm. bingkai daun pintu
biasa pula diberi hiasan ukiran, demikian pula kerangkanya. Bahannya dari kayu
keras dan tebal. Pintu tidak memakai engsel. Tetapi berputing atas bawahnya,
sedangkan kuncinya dibuat dari kayu yang disebut pengkolang.
Jendela
Bentuk
jendela ada dua macam, pertama sama seperti pintu, sedangkan kedua bentuknya
memanjang. Jendela berbentuk pintu semuanya sama seperti pintu, bahkan
ukurannya hamper sama. Kalaupun berselisih, tidaklah seberapa. Yang agak berbeda adalah ketinggian
hiasan kisi-kisi bawahnya. Kisi-kisi hiasan jendela lebih tinggi dari kisi-kisi
pintu, yakni antara 35-45 cm.
Jendela
panjang ukuran tingginya antara 35-50 cm, dan lebarnya 1-2 m. jendela
inipundiberi hiasan ukiran dan kisi-kisi bubutan. Daun jendela tidak melekat,
tetapi lepas yang dapat dipasang dan dibuka dari samping. Kalau letaknya agak
tinggi dari lantai, daunnya dapat dibuka ke atas. Semua daun jendela dibuka ke
dalam.
Loteng
Loteng
disebut Salang tingginya dari lantai
antara 1,5-2 m. lotengberlantai papan, susunannya sama seperti susunan lantai
ruangan rumah induk. Loteng dipasang menutupi seluruh bagian atas ruangan dalam
rumah induk. Tetapi di ruangan belakang tidak diberi loteng.
Untuk
naik ke loteng dibuat tangga melalui lobang loteng berukuran 1 x 1 atau 1 x 1,5
m. Di atas loteng tidak diberi plafon.
Atap
Atap
bentuknya melengkung ke atas pada kedua ujung perabungnya. Kaki atap juga
melengkung ke atas, tetapi tidaklah sekuat lengkungan bubungannya.
Bahan
utama atap dahulu adalah ijuk, rumbia dan nipah, tetapi beberapa waktu terakhir
ini sudah banyak yang mempergunakan seng. Atap lainnya yang juga pernah
dipergunakan dahulu adalah daun Sikai
dan Bengkang.
Pada
kedua ujung puncak atap diberi hiasan khusus yang disebut Sulo Bayung. Pada keempat sudut cucuran atap diberi pula hiasan
yang disebut Sayok Layangan. Bentuk
hiasan itu bermacam ragam, ada yang menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji
dan ada pula yang hampir sama dengan ukiran Selembayung
serta Sayap Layang-layang yang
terdapat di daerah Riau lainnya. Umumnya ukiran itu melengkung ke atas.
Atap di
samping melengkung ujung pangkalnya, juga melengkung kebawahnya, tapi
lengkungan ini agak semu. Membuat lengkungan itu dengan cara membentuk
sambungan kasau betinanya. Atap rumah inipun ada beberapa variasinya, yaitu ada
yang dibuat lurus ujung pangkalnya, tetapi ada pula yang diberi variasi
bertingkat. Variasi ini tidaklah merubah bentuk dasarnya. Bentuk atap lontik (melengkung
ke atas pada kedua ujungnya) mengandung makna bahwa pada awal dan akhir hidup
manusia akan kembali kepada Yang Maha Tinggi, yakni Tuhan pencipta sekalian
alam. Di dalam kehidupannya manusia memasuki lembah yang dalam, yang
kadang-kadang penuh penderitaan dan cobaan. Bila ia selamat dalam mengarungi
lembah itu, maka akhirnya akan kembali ke tempat asalnya dengan selamat.
Ukiran
pada kedua puncak ujung atap yang disebut Sulo
Bayung mengandung makna: Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bahwa akhirnya
manusia akan menghadapnya kambali dengan penuh penyerahan. Pengertian lain
adalah melambangkan bulan sabit, yang memberikan penerangan kepada seisi rumah.
Sedangkan sebagian lagi menyebutkan bahwa ukiran itu, kalau bentuknya seperti
bulan sabit, menggambarkan tanduk kerbau, hewan yang banyak membantu penduduk
dalam mengolah pertaniannya.
Susunan ruangan
Rumah
biasanya hanya terdiri dari 3 ruangan saja, tetapi rumah Sompu terdiri dari 4
ruangan. Sepanjang keterangan yang didapat, ruangan belakang dapat pula
ditambah sesuai menurut keperluan pemiliknya atau dapat pula dibuat bangunan
lain sebagai penambah ruangan, yang letaknya terpisah sedikit dari ruangan
belakang rumah.
Alasan
lain menyebutkan bahwa ruangan harus tetap tiga, karena sesuai dengan Alam Nan Tigo, yakni tata pergaulan
dalam kehidupan masyarakat.
Pertama
Alam Berkawan, yakni pergaulan antara
sesame warga kampung. Pergaulan yang terbatas pada tegur sapa, tanpa adanya
hubungan darah ini dilambangkan dalam ruangan muka.
Kedua Alam Bersamak, yakni kaum kerabat dan
keluarga. Dilambangkan dengan ruangan tengah.
Ketiga Alam Semalu, yakni kehidupan pribadi dan
rumah tangga. Tempat menyimpan segala rahasia. Ini dilambangkan pada ruangan
belakang, sebagai tempat memasak keluarga, dimana kebebasan dan rahasia dapur
tersimpan.
Pembagian
ruangan menjadi tiga ruangan ini bukan berupa pembatasan oleh adat tertentu,
melainkan karena fungsinya.
Ruangan
bawah, yakni berlantai lebih rendah dari lantai rumah induk, sebenarnya bersatu
dengan rumah induk itu sendiri. Ia hanya dipisahkan oleh dinding dan bendul. Di
ruangan bawah terdapat ruangan Ujung
Bawah, yakni ruangan yang disebelah kanan masuk. Yang disebelah kiri masuk
disebut ruangan Pangkal Rumah.
Ruangan
tengah, adalah ruangan yang berbatasan dengan ruangan bawah. Di ruangan tengah
terdapat ruangan Ujung Tengah, yakni
ruangan disebelah kanan masuk, sedangkan di sebelah kiri disebut ruangan Poserek.
Ruangan
belakang, adakalanya bersatu dengan rumah induk dan adakalanya terpisah oleh
dinding atau oleh ruangan lain yang disebut Telo,
atau Sulo Pandan. Pada ruangan
belakang ada ruangan Sulopandan dan Pedapuan. Pedapuan adalah ruangan paling
belakang.
Fungsi tiap-tiap
ruangan
Ujung Bawah, tempat duduk
Ninik Mamak dan undangan dalam upacara tertentu. Dalam keadaan sehari-hari
dipergunakan sebagai tempat sembahyang, oleh karenanya disitu selalu disediakan
tikar sembahyang.
Pangkal Rumah, untuk tempat
duduk Ninik Mamak pemilik rumah atau disebut Ninik Mamak nan punyo soko. Dalam keadaan sehari-hari dipergunakan
sebagai tempat tidur Ninik Mamak tersebut. Dan disitu selalu disediakan lapik ketiduran.
Ujung Tengah, dalam upacara
perkawinan dipergunakan untuk tempat gerai
pelaminan. Dalam keadaan sehari-hari dipergunakan sebagai tempat tidur
pemilik rumah. Di ruangan ini disediakan tempat tidur baik berupa gerai maupun katil.
Poserek, dipergunakan
untuk tempat berkumpul orangtua perempuan dan anak-anak. Dalam keadaan biasa
dipergunakan untuk tempat tidur keluarga perempuan dan anak-anak.
Sulo Pandan, tempat
meletakkan barang-barang keperluan sehari-hari dan peralatan dapur.
Pedapuan, tempat memasak,
tempat kaum ibu bertamu dan tempat makan keluarga, sering pula dipergunakan
untuk tempat tidur anak gadis. Di ruangan ini terdapat dapur tempat memasak
yang dibuat bertiang serta diberi tungku. Dinding sebelah dalamnya dilapisi
seng, dan di dalamnya diberi tanah dan pasir. Di atasnya diberi para-para
tempat menyimpan alat dapur atau untuk mengeringkan bahan makanan, atau untuk
tempat mengawetkan bibit jagung, mentimun dan sebagainya.
Lain-lain.
Di bawah rumah ada ruangan yang selalu dipergunakan untuk menyimpan benda-benda
pertanian, tempat kandang ayam (di belakang) dan tempat bekerja. Dapat pula
dipergunakan sebagai tempat anak-anak bermain. Di loteng, terdapat ruangan
tempat menyimpan barang, terutama benda-benda Soko beras dan benda lainnya. Ruangan tempat mandi dan buang air
tidak di rumah, biasanya penduduk melakukannya di sungai yang terdekat, sebab
biasanya mereka membangun rumah tidaklah terlalu jauh dari sungai atau anak
sungai. Kolong rumah tidaklah dibagi-bagi dalam ruangan. Kebiasaan penduduk
menempatkan kandang ternak di kolong bawah dapur. Sedangkan kolong lainnya
dipergunakan untuk berbagai keperluan seperti bertukang, menyimpan perahu atau
tempat anak-anak bermain.
Kesimpulan
Keberadaan
rumah dengan karateristik Melayu di Kabupaten Kampar Provinsi Riau masih
dapat terlihat wujudnya. Tipologi rumah tradisional yang
belum mengalami perubahan tercermin pada wujud yaitu 1) Bentuk atap : Atap Lontik,
2) Dinding: Dinding yang agak
miring pada sisinya berbahan kayu di pasang vertikal dengan banyak bukaan,
3) Pilar: berbahan kayu
dengan beberapa ukuran pada sisi tiangnya, dengan menggunakan konstruksi
panggung, tanpa menggunakan sambungan besi.
Atap
yang lebar untuk sinar matahari
menghalangi panas Interior yang minim partisi memungkinkan terjadinya ventilasi
yang baik dalam rumah (tengah). Ventilasi melalui sambungan atap.
Bukaan jendela yang luas membuat sirkulasi udara mengalir pada level tubuh Ketinggian rumah membuat kecepatan sirkulasi
udara yang masuk menjadi lebih besar
Kontruksi
yang ringan menggunakan bahan bangunan berkapasitas termal rendah membuat rumah
tetap sejuk. Sedangkan tipologi rumah tradisional yang
paling menonjol adalah keberadaan ornamen yang terdapat di dinding, jendela, dan
railing tangga.
Susunan ruang yang ada pada bangunan Rumah Lontik masih memisahkan kegiatan
anak perempuan yang harus dijaga serta dilindungi, mengakibatkan tamu hanya
bisa memasuki ruang beranda depan yang merupakan batas yang masih boleh
dimasukin oleh orang asing.
Hal-hal filosofis keagamaan masih sangat kental perpaduannya dengan Rumah
Lontik ini, seperti hubungan bangunan dengan kekuasaan tuhan, nilai-nilai agama
Islam, prinsip-prinsip agama Islam yang terdapat pada detail-detail arsitektur
bangunan Rumah Lontik.
Bangunan-bangunan tradisional melayu yang masih terkonservasi sebagian
besar merupakan bangunan dengan fungsi rumah tinggal, karena pada masa lampau
aktivitas yang ada tidak banyak membutuhkan bangunan dengan fungsi yang baru
seperti sekerang ini. Aktivitas-aktivitas masih mampu ditampung di dalam fungsi
sebuah bangunan yang di sebut rumah tinggal.
Referensi:
http://asiantribal.blogspot.co.id/2012/12/rumah-adat-kampar-riau.html di akses pada
1/12/2015 pukul 20.00WIB
http://misskisri.blogspot.co.id/
di akses pada 1/12/2015 pukul 20.10WIB
Rumiawati, Asnah & Yuri H.
2013. Identifikasi Tipologi Arsitektur Rumah Tradisional Melayu di Kabupaten
Langkat dan Perubahannya. Jurnal Loka Teknologi Permukiman Medan. Pusat Litbang
Permukiman, Bdan Litbang Kementrian Pekerjaan Umum