Saturday, November 19, 2016

TEORI KONSERVASI


Konservasi merupakan suatu upaya yang dapat menghidupkan kembali vitalitas lama yang telah pudar. Termasuk upaya konservasi bangunan kuno dan bersejarah. Peningkatan nilai-nilai estetis dan historis dari sebuah bangunan bersejarah sangat penting untuk menarik kembali minat masyarakat untuk mengunjungi kawasan atau bangunan tersebut sebagai bukti sejarah dan peradaban dari masa ke masa.
Upaya konservasi bangunan bersejarah dikatakan sangat penting. Selain untuk menjaga nilai sejarah dari bangunan, dapat pula menjaga bangunan tersebut untuk bisa dipersembahkan kepada generasi mendatang.
Pada umumnya kota-kota besar baik di Indonesia maupun kota-kota besar di belahan dunia mempunyai perjalanan sejarah yang cukup panjang. Kota-kota besar tertentu seperti Paris, London, Mandrid, Amsterdam, Lisabon, dsb. tumbuh menjadi kawasan perkotaan lebih dari tiga ratus tahun yang diperkirakan sejak sebelum abad 17. Sedangkan kota-kota besar di Indonesia seperti: Jakarta, Meda, Semarang, Surabaya, Bandung, Bogor, Malang, Makassar, dsb. diperkirakan mempunyai perjalanan sejarah lebih dari dua ratus atau terbentuk sekitar abad 17-18. Kota-kota besar di berbagai wilayah di Indonesia ada yang sudah tumbuh sebelum masuknya VOC (cikal bakal pemerintahan Hindia Belanda) ke wilayah Nusantara, seperti : Banten (Lama), Jakarta (Batavia), Cirebon, Semarang, Lasem, Tuban, Gresik dan Surabaya.
Pada sebagian besar kota-kota besar di Indonesia, pengaruh dari pemerintah kolonial Belanda terhadap pola dan struktur pembentukan kawasan kota dinilai cukup besar. Hal ini terlihat pada adanya kawasan kota yang banyak didirikan bangunan-bangunan lama peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang bernilai sejarah. Hal lain yang terlihat jelas adalah berdirinya bangunan pemerintahan serta bangunan fungsi militer pada kota-kota besar di Indonesia yang secara nyata punya peran penting dan strategis. Kota-kota tersebut kemudian berkembang menjadi kota dengan fungsi khusus baik sebagai kota pusat pemerintahan maupun kota militer. 
Sebagai contoh misalnya: Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Malang, dsb. Direncanakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menjadi kota-kota pusat pemerintahan selain kota perdagangan, kota pendidikan atau kota rekreasi. Demikian pula dengan kota-kota seperti : Cimahi, Bandung, Gombong, Purworejo, Magelang, Ambarawa, Madiun, Malang, dsb  oleh pemerintah colonial Belanda diarahkan untuk kota-kota militer. Karenanya di banyak kota-kota di Indonesia, selain berkembangnya bangunan vernacular dan tradisional daerah setempat juga banyak terdapat bangunan-bangunan lama dengan corak dan gaya arsitektur kolonial Belanda.
Kota-kota besar disebut diatas dalam perjalanan waktunya terus tumbuh dan berkembang mulai dari awal abad 20 hingga era kemerdekaan di tahun 1945 s/d tahun 1950 terus hingga ke era pembangunan tahun 1970 hingga 1990-an. Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat dari kota-kota besar di Indonesia terjadi terutama pada kurun waktu 1980-an hingga 1998 dimana pembangunan industry properti dan kawasan perumahan baru banyak bermunculan di kota-kota tersebut. Bangunan-bangunan besar dan megah juga terlihat didirikan pada periode tersebut terutama di kota-kota besar skala metropolitan, seperti: Medan, Jarakta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Makassar.   
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan sejarah dan budaya. Tentu tidak sedikit bangunan bersejarah yang menyimpan cerita-cerita penting dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Bahkan hampir di setiap daerah mempunyai bangunan bersejarah yang dijadikan sebagai identitas dari daerah tersebut.
Bertolak belakang dengan diketahuinya indonesia yang kaya akan sejarah dan budaya, ternyata masih banyak bangsa Indonesia yang tidak menyadari akan hal itu. Banyak sekali fenomena-fenomena yang terjadi dan meninbulkan keprihatinan terutama dalam bidang arsitektur bangunan di Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Budihardjo (1985), bahwa arsitektur dan kota di Indonesia saat ini banyak yang menderita sesak nafas. Bangunan-bangunan kuno bernilai sejarah dihancurkan dan ruang-ruang terbuka disulap menjadi bangunan. padahal menghancurkan bangunan kuno bersejarah sama halnya dengan menghapuskan salah satu cermin untuk mengenali sejarah dan tradisi masa lalu. Dengan hilangnya bangunan kuno bersejarah, lenyaplah pula bagian sejarah dari suatu tempat yang sebenarnya telah menciptakan suatu identitas tersendiri, sehingga menimbulkan erosi identitas budaya (Sidharta dan Budhihardjo, 1989). Oleh karena itu, konservasi bangunan bersejarah sangat dibutuhkan agar tetap bisa menjaga cagar budaya yang sudah diwariskan oleh para pendahulu kita. 

Tinjauan Konservasi Arsitektur
Konservasi Secara Umum 
Secara umum konservasi mempunyai arti pelestarian yaitu melestarikan/mengawetkan daya dukung, mutu fungsi, dan kemampuan lingkungan secara seimbang (MPL, 2010; Anugrah, 2008). Konservasi lahir akibat adanya semacam kebutuhan untuk melestarikan sumber daya alam yang diketahui mengalami degradasi mutu secara tajam. Dampak degradasi tersebut menimbulkan kekhawatiran dan kalau tidak diantisipasi akan membahayakan umat manusia, terutama berimbas pada kehidupan generasi mendatang. Konservasi merupakan upaya perubahan atau pembangunan yang tidak dilakukan secara drastis dan serta merta, merupakan perubahan secara alami yang terseleksi. Ada beberapa nilai yang terkandung dalam konsep konservasi, yaitu menanam, melestarikan, memanfaatkan, dan mempelajari.
Sebagaimana diketahui, kesinambungan masa-lampau masa-kini masa-depan, yang mengejawantahkan dalam karya-karya arsitektur setempat, merupakan faktor kunci dalam penimbuhan rasa harga diri, percaya diri, dan jati diri, atau identitas. Keberadaan bangunan kuno yang mencerminkan kisah sejarah, tata cara hidup, budaya, dan peradaban masyarakat, memberikan peluang bagi generasi penerus untuk menyentuh dan menghayati perjuangan nenek moyangnya.
Bangunan yang menjadi obyek konservasi dipertahankan persis seperti keadaan aslinya. Sasarannyapun lebih terbatas pada benda peninggalan arkeologis. Konsep yang statis tersebut kemudian berkembang menjadi konsep konservasi yang bersifat dinamis, dengan cakupan yang lebih luas pula. Sasarannya tidak terbatas pada obyek arkeologis saja, melainkan meliputi karya arsitektur lingkungan atau kawasan dan bahkan kota bersejarah. Konservasi lantas merupakan istilah yang menjadi payung dari segenap kegiatan pelestarian lingkungan binaan, yang meliputi preservasi, restorasi, rehabilitasi, rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi.
Snyder & Catanese (1979) mengatakan bahwa kegiatan preservasi dan konservasi bangunan bersejarah pada dasarnya merupakan bagian yang bersatu dengan perencanaan kota atau ”the urban planning‟. Preservasi dan konservasi terhadap bangunan bersejarah pada dasarnya juga terkait erat dengan tiga hal penting, yaitu: (a) sejarah perkembangan kota, (b) kawasan atau lingkungan kota lama bernilai sejarah dan (c) konteks ragam arsitektur kota‟ dan ragam gaya arsitektur pada bangunan lama bersejarah. Karena itu pada kegiatan preservasi dan konservasi selalu ada benang merah antara peninggalan karya arsitektur dengan nilai-nilai budaya yang berlangsung pada masyarakatnya di masa lampau.
Isue budaya dan sejarah perkembangan kota pada suatu kawasan kota pada dasarnya dapat dilihat sejak kawasan kota menjadi kawasan yang didiami dan dihuni oleh kelompok masyarakat dengan corak perkotaan. Sejarah perkembangan kota dilalui menapaki bentuk-bentuk budaya masyarakat kota mulai dari yang paling sederhana hingga budaya masyarakat kota yang paling canggih. Bentuk budaya masyarakat kota ini akan melahirkan atau meninggalkan karya-karya arsitektur berupa bangunan-bangunan lama bernilai sejarah. Karena itu bagi kotakota besar yang berumur lama, pengaruh budaya masyarakat kota di suatu kawasan akan bernilai penting dalam aspek nilai-sejarah dan nilai-budaya bagi masyarakat di kemudian hari. Kawasan kota lama pada umumnya memiliki artifak karya arsitektur berupa bangunan-bangunan lama bersejarah.
Dalam menangani atau mengelola kawasan kota lama, yang didalamnya terdapat banyak artifak atau peninggalan budaya kota, maka pihak Pemerintah Kota perlu sedari dini menaruh perhatian terhadap bentuk-bentuk usaha terkait kegiatan pelestarian dan pemeliharaan dari objek-objek bernilai sejarah-budaya (Marville, 1995). Kegiatan preservasi dan konservasi pada bangunan lama bernilai sejarah dapat dikemas dan diwadahi dalam bingkai kawasan kota lama bernilai sejarah‟. Perhatian yang tinggi dari pihak Pemerintah Kota terhadap kegiatan ini pada dasarnya adalah bentuk apresiasi terhadap: (a) nilai arsitektural pada bangunan lama, (b) nilai sejarah dan budaya pada sejarah kota, (c) nilai pendidikan (edukasi) pada generasi mendatang dan (e) penghargaan akan kegiatan pariwisata dan rekreasi dalam kawasan kota. 

Definisi dan Tujuan Konservasi
Menurut Danisworo (1995): ”Konservasi adalah upaya untuk melestarikan, melindungi serta memanfaatkan sumber daya suatu tempat, seperti gedung-gedung tua yang memiliki arti sejarah atau budaya, kawasan dengan kepadatan pendudukan yang ideal, cagar budaya, hutan lindung dan sebagainya”. Berarti, konservasi juga merupakan upaya preservasi dengan tetap memanfaatkan kegunaan dari suatu seperti kegiataan asalnya atau bagi kegiatan yang sama sekali baru sehingga dapat membiayai sendiri kelangsungan eksistensinya.
Sementara itu, Piagam Burra menyatakan bahwa pengertian konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Oleh karena itu, kegiatan konservasi dapat pula mencakupi ruang lingkup preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi (Marquis-Kyle & Walker, 1996; Al-vares,2006).
Tujuan dari konservasi adalah mewujudkan kelestarian seumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan manusia. Dengan demikian, konservasi merupakan upaya mengelola perubahan menuju pelestarian  nilai dan warisan budaya yang lebih baik dan bekesinambungan. Dengan kata lain bahwa dalam konsep konservasi terdapat alur memperbaharui kembali (renew) , memanfaatkan kembali (reuse), mengurangi (reduce), mendaur ulang kembali (recycle), dan menguangkan kembali (refund).

Jenis-jenis Konservasi
Menurut (Marquis-Kyle dan Walker, 1996; Al vares, 2006), konservasi dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
1.      Preservasi
Preservasi adalah mempertahankan (melestarikan) yang telah dibangun disuatu tempat dalam keadaan aslinya tanpa ada perubahan dan mencegah penghancuran.
2.      Restorasi
Restorasi adalah pengembalian yang telah dibangun disuatu tempat ke kondisi semula yang diketahui, dengan menghilangkan tambahan atau membangun kembali komponen-komponen semula tanpa menggunakan bahan baru.
3.      Rekontruksi
Rekontruksi adalah membangun kembali suatu tempat sesuai mungkin dengan kondisi semula yang diketahui dan diperbedakan dengan menggunakan bahan baru atau lama.
4.      Adaptasi
Adaptasi adalah merubah suatu tempat sesuai dengan penggunaan yang dapat digabungkan.
5.      Revitalisasi
Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting cagar budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat.

Artikel Terkait